Jumaat, 9 Disember 2011

William Abdullah Quilliam: Perintis Dan Penyebar Islam Di Liverpool


Agama Islam di Inggris telah ada sejak beberapa abad silam. Karenanya, tak heran bila agama yang dibawa Rasulullah SAW mendapat tempat di hati warga Inggris. Sejumlah tempat ibadah pun akhirnya berhasil didirikan.

Namun, belakangan ini, seiring dengan gencarnya phobia terhadap umat Islam, agama yang mulia ini kerap dijadikan bahan ledekan oleh mereka yang tak memahami Islam. Walau begitu, hal tersebut tak menyurutkan niat seseorang yang diberi hidayah Allah untuk terus menyuarakan Islam.

Pada pertengahan abad ke-19, seorang tokoh kenamaan Inggris mencoba memahami Islam. Dan akhirnya, ia pun menemukan kedamaian di dalamnya. Bertempat di sebuah bangunan yang kini sudah tampak kusam. Bahkan, harian The Independent di Inggris, pernah memuat tulisan berjudul "Forgotten Champion of Islam: One Man and His Mosque" yang ada pada edisi 2 Agustus 2007.

Bangunan yang terletak di kawasan Brougham Terrace No 8, West Derby Street, Liverpool, Inggris tak ubahnya seperti sebuah rumah hancur. Demikian tulis harian The Independent.

Bangunan bercat putih kusam dengan bagian pintu depan yang terlihat reyot dan pintu belakang yang penuh dengan coretan grafiti serta sarang burung dara yang menghiasi bagian atap bangunan dan jamur yang melekat di hampir seluruh permukaan dinding ini menyimpan cerita panjang mengenai Islam di negeri Ratu Elizabeth II ini.

Bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah perkembangan Islam di Inggris pada abad ke-19 dan 20 Masehi ini adalah milik William Henry Quilliam. Komunitas Muslim di kota Liverpool sudah sepantasnya berterima kasih kepada William.

Berkat jasanya, syiar Islam bisa merambah ke kota yang terletak di bagian barat laut Inggris. Dan, masyarakat Muslim di sana bisa menjalankan ibadah dan berbagai kegiatan lainnya secara bersama di sebuah bangunan yang memadai.

Pada awalnya, tepatnya pada 1889, bangunan milik William ini difungsikan sebagai Islamic center dengan nama Liverpool Muslim Institute. Namun, dalam perkembangan berikutnya, bangunan Liverpool Muslim Institute ini juga difungsikan sebagai masjid dan sekolah bagi komunitas Muslim Liverpool. Sejarah mencatat, ini merupakan bangunan masjid dan Islamic center pertama yang didirikan di Inggris.

Siapa sebenarnya sosok William Henry Quilliam ini? Laman Wikipedia menyebutkan bahwa pria kelahiran Liverpool, 10 April 1856 ini berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya, Robert Quilliam, adalah seorang pembuat jam. Sejak kecil William sudah mendapatkan pendidikan yang memadai. Oleh kedua orang tuanya ia disekolahkan di Liverpool Institute dan King William's College. Di kedua lembaga pendidikan ini, ia mempelajari bidang hukum. Pada 1878, William memulai kariernya sebagai seorang pengacara.

William tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang Kristen. Agama Islam baru dikenalnya ketika ia mengunjungi wilayah Perancis selatan pada 1882. Sejak saat itu, ia mulai banyak mempelajari mengenai Islam dan ajarannya. Ketertarikannya terhadap Islam semakin bertambah manakala ia berkunjung ke Aljazair dan Tunisia.

Berdakwah

Pada 1887, sekembalinya dari mengunjungi Maroko, William merealisasikan keinginannya untuk berpindah keyakinan ke agama Islam. Setelah masuk Islam, ia mengganti namanya menjadi Abdullah Quilliam. Dengan menyandang nama baru ini, William gencar mempromosikan ajaran Islam kepada masyarakat Liverpool.

Untuk mendukung syiar Islam di kota Liverpool, ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga khusus bagi orang-orang yang ingin mengetahui dan belajar tentang Islam. Maka, pada 1889, ia pun mendirikan Liverpool Muslim Institute. Guna menarik minat warga kota Liverpool, lembaga yang didirikannya ini tetap buka pada saat hari Natal.

Tak hanya sebatas menjadi pusat informasi Islam. Abdullah kemudian memfungsikan bangunan Liverpool Muslim Institute menjadi tempat beribadah bagi komunitas Muslim Liverpool. Bangunan Masjid Liverpool Muslim Institute ini mampu menampung sekitar seratus orang jamaah.

Pendirian masjid ini kemudian diikuti oleh berdirinya sebuah perguruan tinggi Islam di kota Liverpool dan sebuah panti asuhan bernama Madina House. Sebagai pimpinan perguruan tinggi Islam, Abdullah menunjuk Haschem Wilde dan Nasrullah Warren.

Meski berstatus sebagai lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi yang didirikan William ini tidak hanya menerima murid dari kalangan keluarga Muslim saja. Murid dari keluarga non-Muslim pun diperbolehkan untuk belajar di sana. Guna menarik minat warga non-Muslim untuk mempelajari Islam, pihak pengelola kerap menyelenggarakan acara debat mingguan dan komunitas sastra.

William yang sejak muda dikenal aktif sebagai penulis sastra ini berupaya menarik simpati masyarakat non-Muslim di Liverpool melalui karya-karya sastranya. Upaya-upaya yang ditempuhnya untuk menyebarluaskan ajaran Islam melalui karya sastra dan lembaga-lembaga amal yang didirikannya itu berbuah manis. Dalam rentang waktu sepuluh tahun berdakwah, ia berhasil mengislamkan lebih dari 150 warga asli Inggris, baik dari kalangan ilmuwan, intelektual, maupun para pemuka masyarakat.

Bahkan, ibunya sendiri yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai seorang aktivis Kristen tertarik untuk masuk Islam setelah membaca tulisan-tulisannya.

Berbagai tulisannya mengenai Islam ini ia terbitkan melalui media mingguan The Islamic Riview dan The Crescent yang terbit dari 1893 hingga 1908. Keduanya beredar luas secara internasional. Harian The Independent menulis bahwa William memanfaatkan ruang bawah tanah masjid sebagai tempat untuk mencetak karya-karya tulisnya.

Disamping itu, ia juga menerbitkan tiga edisi buku dengan judul The Faith of Islam pada 1899. Bukunya ini sudah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa dunia. Ratu Victoria dan penguasa Mesir termasuk di antara tokoh dunia yang pernah membaca bukunya ini.

Berkat The Faith of Islam, dalam waktu singkat nama Abdullah Quilliam dikenal luas di seluruh negeri-negeri Muslim. Berkat bukunya ini juga ia kemudian banyak menjalin hubungan dengan komunitas Muslim di Afrika Barat.

Berkat karyanya ini pula, ia mampu menerima berbagai penghargaan dari para pemimpin dunia Islam. Dia mendapatkan gelar Syekh al-Islam dari Sultan Ottoman (Turki Usmani), Abdul Hamid II pada 1894 dan diangkat sebagai atase khusus negeri Persia untuk Liverpool.

Ia juga mendapat sejumlah hadiah berupa uang dari pemimpin Afghanistan. Uang tersebut ia gunakan untuk mendanai perguruan tinggi Islam miliknya di Liverpool.

Sumber: http://www.fiqhislam.com/index.php/agenda-muslim/islam-dunia/18487-william-abdullah-quilliam-perintis-dan-penyebar-islam-di-liverpool


Khamis, 8 Disember 2011

Imam Ibn. Qayyim al-Jawziyyah (691-751H)

Beliau adalah Imam, ‘Allamah, Muhaqqiq, Hafizh, Ushuli, Faqih, Ahli Nahwu, berakal cemerlang, bertinta emas dan banyak karyanya; Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak (QAYYIM) bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 batu.

Pertumbuhan Dan Menuntut Ilmu;

Bukanlah hal yang aneh jikalau Ibnul Qayyim tumbuh menjadi seorang yang dalam dan luas pengetahuan serta wawasannya, sebab beliau dibentuk pada zaman ketika ilmu sedang jaya dan para ulama pun masih hidup. Sesungguhnya beliau telah mendengar hadits dari asy-Syihab an-Nablisiy, al-Qadli Taqiyuddin bin Sulaiman, Abu Bakr bin Abdid Da’im, Isa al-Muth’im, Isma’il bin Maktum dan lain-lain.

Beliau belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.

Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.

Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf.

Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H. 

Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.

Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.

Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.

Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah Islamiyah.

Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.

Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap USHULUDDIN mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai HADITS, makna hadits, pemahaman serta ISTINBATH-ISTINBATH rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.

Begitu pula, pengetahuan beliau rahimahullah tentang ilmu SULUK dan ilmu KALAM-nya Ahli tasawwuf, isyarat-isyarat mereka serta detail-detail mereka. Beliau memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.

Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah.

Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).

Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.

Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.

Sasarannya;

Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh Hijriyah, suatu masa di mana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam, ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman, tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.

Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif, serta pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.

Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pengamalan dari Firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).

Juga firman Allah Ta’ala; “Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).

Murid-Muridnya;

Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.

Aqidah Dan Manhajnya;

Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau mempergunakan teori-teori kaum filosof.

Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”

Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.

Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,

“Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu) melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.” (Saba’:6).

Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid. Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.

Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam berbagai persoalan lainnya.

Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang berargumentasi.

Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.

Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).

Ujian Yang Dihadapi;

Adalah wajar jika orang ‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid turun temurun dan menjadi penentang segenap bid’ah yang telah mengakar, mengalami tantangan seperti banyak dihadapi oleh orang-orang semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang terhadap pendapat-pendapat barunya.

Orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya dan kubu lainnya kontra. Oleh karena itu, beliau rahimahullah menghadapi berbagai jenis siksaan. Beliau seringkali mengalami gangguan. Pernah dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara terpisah-pisah di penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah wafat.

Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan dan diarak berkeliling di atas seekor onta sambil didera dengan cambuk.

Pada saat di penjara, beliau menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, tadabbur dan tafakkur. Sebagai hasilnya, Allah membukakan banyak kebaikan dan ilmu pengetahuan baginya. Di samping ujian di atas, ada pula tantangan yang dihadapi dari para qadhi karena beliau berfatwa tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan tanpa taruhan. Sungguhpun demikian Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten (teguh) menghadapi semua tantangan itu dan akhirnya menang. Hal demikian disebabkan karena kekuatan iman, tekad serta kesabaran beliau. Semoga Allah melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya serta segenap kaum muslimin.

Sirah (Riwayat Hidup) Dan Pujian Ulama Terhadap Beliau;

Sungguh Ibnul Qayyim rahimahullah teramat mendapatkan kasih sayang dari guru-guru maupun muridnya. Beliau adalah orang yang teramat dekat dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta pada kebaikan dan senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian bagi beliau. Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan, kewara’an, ketinggian martabat serta keluasan wawasannya.

Ibnu Hajar pernah berkata mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang yang berjiwa pemberani, luas pengetahuannya, faham akan perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”

Di sisi lain, Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak bergeming.”

Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlaq shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untuk dzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukan imamah dalam hal din (agama).’’

Ibnu Rajab pernah menukil dari adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau mendalami masalah hadits dan matan-matannya serta melakukan penelitian terhadap rijalul hadits (para perawi hadits). Beliau juga sibuk mendalami masalah fiqih dengan ketetapan-ketetapannya yang baik, mendalami nahwu dan masalah-masalah Ushul.”

(Dan masih banyak lagi pujian ulama terhadap Ibnul Qayyim yang termuat dalam naskah asli berbahasa Arab, yang terjemahannya kini ada di hadapan pembaca, namun dalam hal pujian ulama terhadap beliau ini hanya diterjemahkan secukupnya saja, pent).

Tsaqafahnya;

Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.

Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu, keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.

Karya-Karyanya;

Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Buku-buku karangannya banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai sepersepuluhnya. Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.

Beberapa Karya Besar Beliau;

1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.

Wafatnya;

Asy-Syaikh al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub az-Zar’i yang terkenal dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 Hijriyah pada saat adzan ‘Isya’. Beliau dishalatkan keesokan harinya sesudah shalat Zhuhur di Masjid Jami’ Besar Dimasyq (al-Jami’ al-Umawi), kemudian dishalatkan pula di masjid Jami’ al-Jirah. Beliau dikuburkan di sebelah kuburan ibunya di tanah pekuburan al-Babus Shaghir. Kuburannya dikenal hingga hari ini.

Jenazahnya banyak dihadiri orang. Disaksikan oleh para Qadhi dan orang-orang shalih dari kalangan tertentu maupun awam. Orang-orang berjubel saling berebut memikul kerandanya. Saat wafat, beliau rahimahullah berumur genap enam puluh tahun. Semoga Allah senantiasa memberikan keluasan rahmat-Nya kepada beliau.

Maraji’ (Rujukan);

1. Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
2. Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
3. Muqaddimah I’lamil Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin; Thaha Abdur Ra’uf Sa’d,
4. Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
5. Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
6. Ad-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani,
7. Dzail Thabaqat al-Hanabilah karya Ibn Rajab Al Hanbali,
8. Al Wafi bil Wafiyat li Ash Shafadi,
9. Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
10. Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi,
11. An-Nujum Az-Zahirah karya Ibn Ta’zi Bardiy.

Diterjemahkan dari: Majalah al-Mujahid no. 12 Th. I, Rabi’uts Tsani 1410 H. Hal 30-33, tulisan Hudzaifah Muhammad al-Missri .

Catatan:  Pada sub judul: Pujian Ulama, dan wafatnya; tidak diterjemahkan semua. Diterjemahkan oleh Ahmaz Faiz Asifuddin.

(Sumber: Majalah as-Sunnah, 06/I/1414-1993 dengan sedikit perubahan)
 

Imam al-Hafizh Abdul Rahman al-Suyuthi ( 846-911H)


Beliau ialah Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddin Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddin Muhammad bin asy-Syaikh Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapanya wafat.

Asal Usul Beliau –rahimahullah-;

Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapanya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an pada usianya yang sangat dini dan selalu mengikuti bapanya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya. Bapanya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapanya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits). Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun.

Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddin al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’ ash-Shaghir. Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada Taqiyuddin asy-Syamini al-Hanafi (872 H). Lalu mulazamah kepada syaikh Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani. Juga berguru kepada Jalaaluddin al-Mahalli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.

Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para ulama yang telah ia temui. Bahkan ia bepergian jauh sekadar untuk mencari ilmu dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath (sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits. 

Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang. Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang dinisbahkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H. Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan wang warisannya setelah ia wafat dan kemudian ia waqafkan.

Hingga matanglah keperibadian al-Suyuthi, dan sempurnalah pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”

Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.”

Beliau terlalu disibukkan dengan memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi rahimahullah lebih dari 500 buah karangan. Berkata imam Suyuthi, “Kalau seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya, keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara perselisihan berbagai madzhab tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.”

Kitab-Kitab Karangan Imam al-Suyuthi;

Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah antara lain sebagai berikut:

1. Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an
2. Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur
3. Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir
4. Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar
5. Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul
6. Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an
7. Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab
8. Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil
9. Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli
10. At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir
11. Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi
12. Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari
13. Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’
14. Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.
15. Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir
16. Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah
17. Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah
18. Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi
19. Syarh asy-Syathibiyah
20. Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri
21. Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari
22. Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu
23. al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih
24. al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha
25. Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an


Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai berikut:

1. ‘Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
2. Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
3. Husnul Muhaadlarah
4. Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
5. Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
6. Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
7. Taqriibul Ghariib
8. al-Madraj Ila al-Mudraj
9. Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
10. Asmaa`ul Mudallisiin
11. al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
12. ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah
. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H seperti yang disebutkan oleh Sya’rani dalam kitab Dzail Thabaqat-nya. Sebelumnya beliau menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun 10 bulan 18 hari. Dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun, di luar pintu gerbang Qarafah, atau yang terkenal dengan sebutan Bawwaabah as-Sayyidah ‘Aisyah (Pintu gerbang Sayyidah ‘Aisyah) di Kaherah.

Rujukan:

Tadriib ar-Raawi Fi Syarh Taqriib an-Nawawy karya as-Suyuthy, yang ditahqiq oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab Abdullathif, Dar an-Nasyr al-Kutub al-Islamiyyah, Lahore, Pakistan, dan tahqiq DR. Ahmad Umar Hasyim, penerbit Daarul Kitab al-‘Araby, Beirut, Lebanon

(Biografi tokoh ini diambil dari majalah as-Sunnah, edisi 06/1/1414-1993, ditulis/diterjemahkan oleh Hawari, dengan sedikit perubahan dari redaksi)

 

Imam Muhyiddin al-Nawawi (631H – 676H )

Namanya ialah Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf  al-Nawawi. Dilahirkan di Nawa sebuah wilayah di Damsyik Syam pada bulan Muharram tahun 631 Hijrah. Kebolehan menghafaz Al-Quran sejak kecil lagi. Pada tahun 649 Hijrah, ketika berusia lingkungan sembilan belas tahun telah pergi ke kota Damsyik untuk belajar. Mendalami ilmu di madrasah al-Ruwahiyyah atas tanggungan madrasah itu sendiri.

Karangannya adalah banyak, di antaranya yang terkenal ialah kitab syarah sahih muslim, Riyadhus Salihin, Al-Adzkar, al-Tibyan fi adab hamalat al-Quran, al-Irsyad wa al-Taqrib fi ‘Ulum al-Hadith, al-Aidah fi Manasik al-Hajj, Syarah Muhazzab, al-Raudah, Tahdhib al-Asma’ wa al-Lughat, al-Minhaj dan Matan al-Arbain. Antara kitabnya yang begitu popular dalam pengajian ilmu ialah Matan al-Arbain (hadis 40), Riyadhus Salihin, Syarah Sahih Muslim dan al-Adzkar.

Kehidupannya dihabiskan kepada bakti dan khidmat suci terhadap penyebaran dam perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Makan minumnya hanya sekali dalam sehari, sekadar memelihara kesihatan badannya. Juga tidak sanagat menghiraukan akan soal pemakaian dan perhiasan, cukuplah apa yang memadai sahaja. Tidak juga gemar akan makan buah-buahan kerana khuatir akan mengantuk yang akan mengganggu tugas sehariannya. Seorang yang begitu bertakwa menurut erti kata sepenuhnya, wara’nya dan kebersihan jiwanya. Seorang ulama’ yang amatlah suka ditemui. Ada juga riwayat yang mengatakan bahawa keengganan beliau untuk makan buah-buahan di Damsyik itu bukan hanya khuatir akan mengantuk tetapi kerana buah-buahan di Damsyik dikala itu terlalu banyak mengandungi syubhat. Sepanjang hayatnya sentiasa istiqamah dalam menjalankan kewajipan menyebarkan ilmu dengan mengajar dan mengarang di samping senantiasa beribadah di tengah-tengah suasana hidup yang serba kekurangan, sehingga hidupnya dilingkungi oleh usaha dan amal saleh terhadap agama, masyarakat dan umat.

Beliau pernah diusir keluar dari negeri Syam oleh sultan al-Malik al-Zahir yang tidak senang akan fatwa yang dikeluarkan olehnya. Beliau bukanlah seorang ulama’ yang mencari kebenaran untuk dirinya sahaja, beliau hidup di dalam masyarakat. Beliau tidak menjual ilmu yang dimiliki dengan harta benda dunia. Beliau mencurahkan ilmu kepada masyarakat ummat. Beliau memimpin ummat bukan ummat yang memimpin beliau. Mengeluarkan fatwa tanpa memandang sesiapa, walaupun fatwanya itu meyusahkan kedudukannya. Inilah contoh ulama’ pewaris nabi (warithatul anbiya’).
Sepanjang hayatnya banyak menulis, mengarang, mengajar dan menasihat. Inilah yang telah mengangkat ketinggian peribadinya dan dikagumi. Imam Nawawi wafat pada 24 Rejab 676 Hijrah, dan dimakamkan di Nawa, setelah sekian lama beliau hidup dengan membujang tidak beristeri di tengah-tengah suasana masyarakat Damsyik dan telah berjaya menyumbangkan tenaga fikiran dan ‘ilmunya kepada agama Islam dan umatnya. Sekianlah, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmatnya ke atas beliau. Amin.

FATWA IMAM NAWAWI YANG MENGGEMPARKAN

Menurut riwayat bahawa apabila baginda sultan al-Malik al-Zahir telah mengadakan persiapan perang untuk memerangi orang-orang Tatar (monggol) lalu digunakanlah fatwa ‘ulama yang mengharuskan mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang melawan musuh. ‘Ulama fiqh negeri Syam telah menulis menerangkan fatwa tersebut, tetapi baginda belum merasa senang hati kalau imam Nawawi tidak memberi fatwanya. Lalu baginda bertitah “Masih adakah lagi orang lain”. “Masih ada, al-Syaikh Muhyiddin al-Nawawi” – demikian jawapan yang disampaikan kepada baginda.

Kemudian baginda menjemput Imam Nawawi dan meminta beliau member fatwanya bersama ‘ulama fiqh mengenai pengambilan harta rakyat untuk peperangan. Beliau berterus terang tidak mahu memberi fatwanya dan enggan. Baginda bertanya: “Apakah sebabnya beliau enggan?” Lalu beliau memberi penjelasan mengapa beliau terpaksa menerangkan sikapnya dan keenggannya memfatwakan sama seperti para ‘ulama. Beliau dalam penjelasan kepada baginda menerangkan seperti berikut! Ampun Tuanku! Adalah patik sememangnya mengetahui dengan sesungguhnya bahwasanya tuanku adalah dahulunya seorang tawanan tidak ada sebarang harta benda. Tetapi pertolongan Allah telah dilimpahkan kurnianya kepada tuanku dengan dijadikan tuanku seorang raja. Ampun Tuanku! Adalah patik telah mendengar bahawanya tuanku ada memiliki seribu orang hamab tiap-tiap seorang ada mempunyai beberapa ketul emas. Manakala dua ratus orang khadam wanita milik tunaku, masingmasing mempunyai perhiasan yang bernilai. Andaikata tuanku sendirian membelanjakan kesemua itu untuk keperluan perang sehingga mereka tidak lagi mempunyai barang-barang itu, maka patik bersedia memberi fatwa untuk membenarkan tuanku mengambil harta rakyat.

Kesimpulannya, beliau berfatwa tidak membenarkan baginda mengambil harta rakyat selama kekayaannya sendiri masih dapat dipergunakan. Baginda al-Malik al-Zahir murka kepadanya kerana fatwanya yang amat menggemparkan, sehingga baginda mengeluarkan perintah supaya beliau segera keluar dari Damsyik. Imam Nawawi terima saja perintah pengusirannya itu dengan nada yang tenang. Lalu beliau pun keluar ke Nawa. Para ‘ulama Syam telah berusaha menjemput beliau balik semula ke Damsyik, tetapi beliau enggan dengan berkata: “Saya tidak akan balik ke Damsyik selama baginda masih berkuasa”.

(Sumber rujukan asal, HADIS EMPAT PULUH, Cetakan Dewan Pustaka Fajar)

Disalin dan diedit kembali dari: http://www.imamsutrisno.blogspot.com

Rabu, 7 Disember 2011

Shaikh Abdul Fattah Abo Ghodda (1917-1997)

Birth:

Shaikh Abdul Fattah ibn Mohammad ibn Bashir ibn Hasan Abo Ghodda, may Allah bless him, was born in the city of Aleppo in the north of Syria on 17 Rajab 1336 AH/1917 to a family whose lineage goes back to the great companion Khalid ibn al-Walid. The name Aboghodda is relatively recent; other branches of the family hold the names of Sabbagh and Maksoud. Like many families in Aleppo, the business of the shaikh’s family for generations was fabricating and trading in textiles. His father, Mohammad, was well known for his piety and adherence to Islam. Bashir, his grandfather, was one of the biggest traders of textiles in Aleppo.

His Search for Knowledge:

The Shaikh grandfather sensed his intelligence and took care of his education and enrolled him for four years at the Islamic Arab Institute in Aleppo. After working in the family business for few years, and in 1356/1936 at the age of 19, he enrolled at the Khesrevia Madrasa (now known as Shar’eiah Secondary School). He graduated in 1362/1942, and in 1364/1944 left for Egypt to continue his pursuit of knowledge at Al-Azhar, Cairo, where he obtained BA in Shari'ah in 1368/1948 and a diploma in psychology and methods of teaching graduating from Al-Azhar in 1370/1950.

His teachers:

In Syria, the following shaikhs were among the most prominent of his teachers:

  1. Shaikh Mohammad Raghib al-Tabbakh (1293-1370/1877-1951). A scholar of hadith and history who published and wrote many books, most importantly his seven volumes biographical history of Aleppo I’lam al-Nubala bi Tarikh Halab al-Shahba (Informing the nobles on the History of Aleppo, the white).
  1. Shaikh Ahmad ibn Mohammad al-Zarqa (1285-1357=1869-1937). A scholar of Fiqh and fundamentals of Fiqh and a prominent Hanafi Faqih.
  1. Shaikh Eisa al-Bayanuni (1290-1362/1874-1942). A scholar of Shafi’i Fiqh and Adab. His mosque was a minute’s walk from the Shaikh’s house, and one of his earliest teachers. His piety and nearness to Allah left undeletable impression on the Shaikh. His son; Shaikh Ahmad (/-1974) was the closest friend to the Shaikh, and his grandsons were students of Shaikh Abdul Fattah.
  1. Shaikh Muhammad al-Hakeem (1323-1400/1904-1980) A scholar of Hanafi Fiqh and the Mufti of Hanafis in Aleppo.
  1. Shaikh As’ad Ebaji (1305-1392/1895-1972). A scholar of Shafi’i Fiqh and the Mufti of Shafi’is in Aleppo.
  1. Shaikh Ahmad ibn Mohammad al-Kurdi (1299-1377/1885-1957) A recognised Mufti and scholar of Hanafi Fiqh.
  1. Shaikh Mohammad Najib Siraj al-Deen (1292-1373/1876-1954). A scholar of Tafsir and Fiqh and a prominent orator. He is the father of Shaikh Abdullah Siraj al-Deen; a colleague of the Shaikh and a revered Shaikh in Aleppo.
  1. Shaikh Mustafa al-Zarqa (1321-1420/1901-1999). The son of Shaikh Ahmad al-Zarqa, and a great scholar in Fiqh, especially business, comparative Fiqh, and Arabic grammar and literature.
In Egypt, the following shaikhs were among the most prominent of his teachers:

  • Shaikh Mohammad al-Khidr Husain (1292-1377/1876-1958). A great scholar of Tafsir, comparative and Maliki fiqh, and Arabic literature and the Grand Shaikh of al-Azhar.
  • Shaikh Abdul Majid Deraz A scholar of Fiqh.
  • Shaikh Abdul Halim Mahmoud (1328-1398/1907-1978) A great scholar of Tafsir, Fundamentals of fiqh, Adab, and Arabic literature and the Grand Shaikh of al-Azhar.
  • Shaikh Mahmoud ibn Mohammad Shaltout (1310-1383/1893-1963). A great scholar of Tafsir and Fiqh who later became the Grand Shaikh of al-Azhar.
He also met many other scholars greatly benefiting and learning from them, most prominent among them are:
 
 § Shaikh Mustafa Sabri (1286-1373/1869-1954) The last of Shaikh al-Islam of the Ottoman   Khilafa, he lived in poverty, and dignity, in exile Egypt after the Kemalist revolution. A scholar of Hadith, Fundamentals of Fiqh, Hanafi and Comparative Fiqh, Philosophy, and politics.

 § Shaikh Mohammad Zahid al-Kawthari (1296-1371/1879-1952) An Ottoman scholar who was the Secretary of Shaikh al-Islam in Turkey, he lived in poverty, and dignity, in exile Egypt after the Kemalist revolution. A scholar of Hadith, Fundamentals of Fiqh, and Hanafi and Comparative Fiqh. He wrote and published many Islamic books. (Pictured right)

 § Imam Hasan ibn Ahmad ibn Abdul Rahman al-Banna (1324-1368/1906-1949) The founder of the Muslim Brotherhood who revived the call to Allah and the understanding of Islam as a  comprehensive way of life.

 § Shaikh Ahmad ibn Abdul Rahman al-Banna (1301-1378/1885-1958). The father of the founder  of the Muslim Brotherhood, and a scholar of Hadith, Hanafi Fiqh 

§ Shaikh Abdul Wahab Khallaf (1305-1375/1888-1956) A scholar of Hadith, Fundamentals of Fiqh, Comparative Fiqh, and laws of inheritance. He wrote and published many Islamic books.
§ Shaikh Mohammad Abo Zahra (1316-1395/1898-1975) A great scholar of Fundamentals of Fiqh, Comparative Fiqh, and history. He wrote many Islamic books. He wrote letters to the Shaikh praising him and his works.

His colleagues:

The following shaikhs studied with the Shaikh in Egypt:

  • Shaikh Mohammad al-Hamid from Hama, Syria
  • Shaikh Mohammad Ali al-Morad from Hama, Syria
  • Shaikh Mohammad Ali Mish’al from Homs, Syria
  • Shaikh Mahmoud Sobhi Abdul Salam from Libya
  • Shaikh Mohammad Jamil Akkad from Aleppo, Syria
  • Dr. Mahmoud Fawzi Faidh Allah from Aleppo

The Shaikh has friends beyond counting; they were scholars of various backgrounds and speciality, Islamic leaders and activists, to list a few(*denotes those who passed away):

  • Shaikh Abdul Aziz Euon al-Sood*, Homs, Syria
  • Shaikh Abdul Ghani Abdul Khaliq, Egypt
  • Shaikh Abdul Rahman al-Bani, who worked with the Shaikh on curriculum of Islamic education in Syria.
  • Shaikh Abo Abdul Rahamn ibn Aqil al-Zahiri, Riyadh
  • Shaikh Adnan Sarmini, Aleppo
  • Shaikh Ahmad Khairi*, faithful student of Shaikh al-Kawthari
  • Shaikh Ahmad Sahnoon, Algeria
  • Shaikh Alawi Maliki*, Mecca
  • Shaikh Ali al-Tantawi, Damascus
  • Shaikh Amjad al-Zahawi*, Baghdad, Iraq
  • Shaikh Hasan Khalid*, the Grand Mufti of Lebanon
  • Shaikh Hasan Mashat*, Mecca
  • Shaikh Ishaq Azzouz*, Mecca
  • Shaikh Manna’ al-Kattan*, Egypt and Riyadh
  • Shaikh Mohammad Abo al-Yusr Abideen*, Damascus
  • Shaikh Mohammad Amin Kutbi*, Mecca
  • Shaikh Mohammad al-Habeeb ibn al-Khoja, from Tunisia and the Secretary General of the Islamic Fiqh Council, Jeddah.
  • Shaikh Mohammad al-Tahir ibn Ashour, Tunisia
  • Shaikh Mohammad Mahmoud al-Sawaf*, Baghdad, Iraq
  • Shaikh Mohammad Nur Saif, Mecca
  • Shaikh Mohammad Sa’eed Ramadan al-Boti, Damascus, Syria
  • Shaikh Molla Ramadan al-Boti*, Damascus, Syria
  • Shaikh Mustafa al-Siba’ei, Damascus
  • Shaikh Wahbi Sulaiman al-Ghawji, Damascus, Syria
  • Shaikh Yosuf al-Qardawi, Qatar

His academic work in Syria:

In 1951, Shaikh Aboghodda returned to Aleppo where he won first place in the teachers’ entrance test and was selected as the principal teacher of Islamic Education. For eleven years, he taught Islamic studies at secondary and religious schools in Aleppo and wrote its curriculum and textbooks. He taught at al-Sha’bania school, a non-governmental religious school specializing in disciplines of Islamic knowledge. Then he went to the College of Shari'ah at the University of Damascus, where for three years he taught Usul al-fiqh (Fundamentals of Jurisprudence), Hanafi fiqh and Comparative fiqh for three years and for about two years directed the production of an Encyclopaedia on Islamic Fiqh and also completed a lexicon of fiqh book of al-Muhalla by Ibn Hazm that had been started by other colleagues and published later by the University of Damascus.

Political and Da’wa activities:

In the 1940's the Shaikh met with Hasan al-Banna in Egypt and joined the Muslim Brotherhood and when he returned to Syria he was very active in field of Islamic works gaining the trust of the Muslim masses and elites and the respect of his adversaries. The brothers in Syria admired and trusted him and eventually elected him as their leader. During his stay in Syria, he was a living school that taught more than three generations of scholars and activists, all of whom were proud to benefit from his vast of knowledge. Apart from the weekly sermons that attracted thousands, he held three weekly sessions on fiqh questions and answers, on fiqh, and on hadith.

The Shaikh was very close to the Palestinian cause and participated in many conferences to support it, the late Shaikh Mohammad Amin al-Husaini used to visit him everytime he visited Riyadh.

In 1962, the shaikh was elected as a Member of Parliament for Aleppo despite fierce opposition from seasoned contenders. He used this position to help and promote the interests of Islam and Muslims in Syria. In 1966, the military regime imprisoned him for eleven months in Palmyra's military prison with other scholars and politicians before being released during the war of June 1967, when the government released all political prisoners. He remained involved with the Islamic movement for the rest of his life and enjoyed the admiration and trust of Muslim scholars and the respect of his adversaries and enemies.

In 1978, the Executive Council of Rabitat al-‘Alam al-Islami (Muslim World League) elected Shaikh Abdul Fattah to fill Syria’s seat that became vacant at the death of the great Shaikh Hasan Habanaka.

His academic work in Saudi Arabia:

The shaikh eventually moved to Riyadh, Saudi Arabia where for over 25 years he taught at the Higher Institute for Judges, Imam Mohammad ibn Saud Islamic University, and King Saud University and participated in developing courses and programs at the first. He enjoyed the friendship and trust of many Saudi scholars and officials, notably Shaikh Mohammad ibn Ibrahim Al al-Shaikh the Mufti of Saudi Arabia, Shaikh Abdul Aziz ibn Mohammad Al al-Shaikh the Rector of Islamic Colleges, H.E. Hasan ibn Abdullah Al al-Shaikh the minister of education, H.E. Dr. Abdullah Abdul Mohsin al-Turki the Rector of Imam Mohammad ibn Saud Islamic University, Shaikh Ismail al-Ansari a great scholar of Hadith.

In Ramadan 1383/1963 he was invited to deliver a lecture at Hassanian Lectures sponsored, and attended by King Hasan. The lecture focused on explaining a Hadith of the Prophet, peace be upon him, and was televised and met with great approval by the King, and Moroccan scholars. The great scholar of Hadith in Morocco; Shaikh Abdul Hafeez al-Fasi who was then 87 years old heard the Shaikh’s lectures and requested his visit and Ijaza (license) in Hadith. King Hasan invited the Shaikh to come on other Ramadans and later awarded him an honorary medal.

In 1976, he taught as a visiting Professor at Um Durman Islamic University in Sudan, and in 1978 taught at San’a University in Yemen. He held many teaching sessions and lectures during his visits to scholarly institutions in India, Pakistan, Morocco, Qatar, Algeria, Jordan, Iraq, and Turkey. He wrote, edited and published over 65 books and left behind about 40 books in various stages of writing and editing.

In recognition of his scholarly achievements, Muslim scholars nominated the Shaikh in 1995 for the newly founded Prize of Sultan Brunei for Islamic Studies. The Oxford Centre for Islamic Studies presented the Shaikh with the first award at a ceremony in London attended personally by the Sultan and other scholars and dignitaries.

Travels and Contacts:

Shaikh Aboghodda travelled to the following countries: Algeria, Bahrain, Britain, Brunei, Canada, Egypt, France, Germany, Holland, India, Indonesia, Iran, Iraq, Italy, Jordan, Kuwait, Lebanon, Malaysia, Morocco, Pakistan, Palestine (before 1948), Qatar, Somalia, South Africa, Sudan, Switzerland, Tunisia, Turkey, United Arab Emirates, United States, Uzbekistan, and The Vatican.

In his travels, he visited libraries and met scholars of these countries, as well as lecturing and exchanging knowledge with students and scholars. As a result of his numerous visits to India and Pakistan, and through the numerous tracts and books he had edited and published, was able to bring much of the knowledge of the Indian subcontinent to Arab scholars Among the prominent scholars that he met in these countries were:

Shaikh Habib al-Rahman al-Azami (1319-1412/1900-1992) A great scholar and authority of Hadith, Fiqh, biographies, and history.

Shaikh Mohammad Abdul Rashid al-No’mani (born 1333/1914) A great scholar of Hadith and Fiqh living in Karachi, Pakistan.

Shaikh Mohammad Shafi' (1314-1396/1896-1976) A great scholar of Tafsir, Hadith and Fiqh and the Mufti of Pakistan, and the father of two great contemporary scholars; Justice Shaikh Mohammad Taqi Usmani and Shaikh Mohammad Rafi’ Usmani.

Mufti Ateeq al-Rahman (died 1404/1984) The Mufti of Delhi

Shaikh Mohammad Zakaria ibn Mohammad Yahya al-Kandahlawi (1315-1402/1896-1982) A great scholar of Hadith and Hanafi Fiqh who lived his later days in Medina.

Shaikh Mohammad Yosuf ibn Mohammad Elias al-Kandahlawi (1332-1384/1913-1964) The leader of Tabligh-e Jamat in Pakistan and a scholar of Hadith and Fiqh.

Shaikh Mohammad Yosuf al-Banuri (1326-1397/1908-1977) A great scholar of Tafsir, Hadith, Fiqh, and Arabic literature and poet.

Shaikh Zafar Ahamd Usmani (1310-1394/ 1895-1974) A great scholar of Fiqh an authority on the science of Hadith. The Shaikh published one of his books Qawa’id fi Uloom al-Hadith (Rules on the science of Hadith) which covers the Hadiths’ evidences of the Hanafi Fiqh.

Shaikh Abo al-Wafa Mahmoud Shah al-Afghani (1310-1395/1891/1975) One of the great scholars of this century and an authority on most of Islamic sciences; Hadith, Fundamentals of Fiqh, Fiqh and comparative Fiqh, who edited and published many manuscripts.

Shaikh Abo al-A'la al-Maududi (1321-1399/1902-1979) The founder of Islamic movement in the subcontinent and the leader of Jamat-e Islami of Pakistan. A great Islamic thinker and writer of many books including translation of the meaning of the Quran and a Tafsir.

Shaikh Abo al-Hasan Ali al-Nadwi (1332-1420/1913-2000). A close friend of the Shaikh and a great educationalist scholar who oversaw Nadwat al-Ulama of Lucknow; India’s most important institute for Islamic and Arabic studies. A seasoned Islamic leader of India whom Allah blessed with wisdom, knowledge and the love and respect of the people. A native of India of distant Arab descent, who wrote works of Arabic literature better than many Arabs.

Glimpses of his Character:

The Shaikh exemplified a distinct noble character combining a scholar and a mujahid. His knowledge was extensive in its scope and deep in its understanding especially in the fields of fiqh (jurisprudence), tafsir (Quranic exegesis), adab (manners), Arabic grammar and literature, history, bibliography, sociology, and psychology. His love and concern for the Muslim nation and humanity were great and Allah endowed him with thoughtful insights in his grasp of the challenges facing Muslims. He was polite and gentle in his speech, and when he talked tears would flow from his eyes with sincerity and humbleness from his heart to touch the hearts of the listeners who would respond with love, respect and trust. He intelligence and quick wit were amazing to many of his friends, foes and always present in his lectures and speech.

He was a respectful follower of Imam Abo Hanifa with appreciation and reverence to all Muslim scholars regardless of their school of thought. He was a practical scholar living his time, far from extremism, and would not be reactive or easily provoked. He would always judge matters in the light of the Shari'ah and taught his students to do the same. An example of this was his stance toward the great scholar, Imam Ibn Taimiya. Although his Shaikh Mohammad Zahid al-Kawthari made scathing attacks on Ibn Taimiya and although Shaikh Aboghodda lived and taught in Syria in an environment that was overwhelmingly hostile toward Ibn Taimiya, he would speak respectively and fairly about him pointing out the positive aspects in his works and life.

His family:

In 1951, the Shaikh was married to Mrs. Fatima al-Hashimi who was 16 years old; his marriage was an ideal bond built on love, respect, and dedication for the sake of Allah. His wife of 46 years, Mrs. Al-Hashimi was more than wife; she was a counsellor, an assistant, a secretary, a reader, and a researcher. She took care of everything around the Shaikh to enable him to dedicate all his time for serving the religion of Islam. During his sickness she was always at his side helping without the slightest hesitation or complaint. The Shaikh left eleven children; three sons and eight daughters as follow:

  1. Mohammad Zahid born in 1372/1952 holds a BSc in civil engineering and an MBA form University of Toronto. Currently, he lives in Toronto, Canada where he is active in Islamic activities. He is married and has four sons; Abdul Fattah, Ibrahim, Husain, and Salem.
  2. Mrs. Maimona born in 1373/1953 married to Farouk Abo Touk a civil engineer originally from Hama, Syria currently living in Mecca. They have 8 children.
  3. Mrs. Aisha born in 1375/1955 married to Salah Murad-Agha a civil engineer originally from Hama, Syria currently living in Vancouver, Canada. They have 7 children.
  4. Dr. Ayamn born in 1376/1956 is a practicing cardiologist in Regina, Canada. He is married and has 5 children
  5. Mrs. Fatima born in 1377/1957 lives in Riyadh, Saudi Arabia. She has 4 children from her husband Ahmad al-Amiri.
  6. Mrs. Hala born in 1378/1958 marreid to Abdullah Masri a civil engineer from Aleppo, currently they live in Toronto, Canada. They have 7 children.
  7. Mrs. Hasna’ born in 1381/1961 married to Dr. Bashar Abo Touk a paediatric surgeon originally from Hama, Syria currently living in Riyadh. They have 6 children
  8. Mrs. Lubaba born in 1385/1965 married to Omar Akhras an electrical engineer originally from Aleppo and currently living in Toronto. They have 4 children.
  9. Mrs. Omama born in 1391/1971 married to Dr. Abdullah Abo Touk a dental surgeon originally from Hama, Syria and currently working in Jeddah, Saudi Arabia. They have 3 children.
  10. Shaikh Salman born in 1392/1972 and holder of MA in Hadith from Imam Mohammad ibn Saud Islamic University. Currently working as a researcher at the Islamic Fiqh Council, Jeddah.
  11. Mrs. Jomana born in 1396/1974 married to Yaser Ka’dan a chemical engineer originally from Aleppo and currently working in the United States. They have two children.

The Shaikh has two brothers and two sister as follows:

Mr. Abdul Kareem (-1404/-1984) The eldest brother who worked as a watchman at oil factory. He left 10 children among them Dr. Abdul Sattar who holds PhD in Fiqh from al-Azhar and currently works as a Fiqh consultant at Dallah al-Barakah financial group in Jeddah
Mr. Abdul Ghani (-1393/-1973). Although a trader of textile in Aleppo, Abdul Ghani was well-educated pious man. He left 9 children among them Dr. Hasan who holds PhD in Islamic fiqh and currently teaches at King Saud University, Riyadh.

Mrs. Na’eema born in, married to Mr. Ali Khayata. They have 5 children among them Mahmoud an industrialist in Aleppo.
    The Shaikh has two brothers in law as follows:

    1. Dr. Ali al-Hashimi born in and holds a PhD in Arabic literature from Cairo Univesity and the author of numerous books in Arabic literature and Islamic subjects. Currently living in Riyadh, and he has 8 children.

    1. Dr. Adel al-Hashimi born in and holds a PhD in Arabic literature from Mosul Univesity and the author of numerous books in Arabic literature and Islamic subjects. Currently living in United Arab Emirates, and he has 5 children

    His return to Syria:

    In 1995, President Asad of Syria invited the Shaikh to return to Syria and to meet him. The Shaikh’s return in December 1995 was the headlines for few days, and was met with great joy and happiness by Syrians who were still holding the Shaikh in greet esteem and loved to see him back amongst them. The meeting with President Asad did not materialize though other officials met the Shaikh and were very respectful and cordial.

    His sickness and death:

    In 1973, the Shaikh suffered a heart attack and was hospitalized for few weeks, however, for the rest of his life, and despite the eventful years he had been through, his heart’s condition was stable. In 1989 the Shaikh complained about deterioration in his sight and doctors at King Khalid Eyes Hospital diagnosed it as Macular Degeneration and suggested laser treatment for the retina. The treatment was not very successful but it stopped the disease from spreading further. In late Sha’ban 1417/late 1996 the Shaikh sight deteriorated again and he decided to go to Riyadh to seek treatment at King Khalid Eyes Hospital, the laser surgery was not successful and resulted in sever headache and pain in his eyes. In Ramadan the Shaikh was hospitalized at King Faisal Specialist Hospital complaining of abdominal pain and internal bleeding. His conditions worsened and he passed away in Riyadh in the early hours of Sunday the 9th of Shawal 1417-16 February 1997. He was buried in al-Baki’ cemetery in Medina after Isha prayers of 10 Shawal 1417. Muslims around the world mourned him in Mecca, Medina, Aleppo, Istanbul, Luknow, Beirut, and Rabat, and his loss was felt most among scholars and students of Islam. May Allah shower his mercy on him, reward him abundantly, and assign him with the Prophets and righteous people for he loved them and, mentally, lived with them during his long life.