Jumaat, 13 Julai 2012

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (471-651 H)

Biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani termuat dalam kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Tetapi, buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.

Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.

Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari'atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo'a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS. Al Jin:18)

Kelahirannya


Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

Pendidikannya


Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.

Pemahamannya


Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. "Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas 'Arsy.

Dakwahnya

Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.

Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.

Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut, "Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.

Wafatnya


Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Pendapat ulama

Ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."

Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para Syeikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."

Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "

Imam Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.

Isnin, 9 Julai 2012

al-Habib Abdullah bin Alwy al-Hadad


Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad, lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhromaut, Negeri Yaman.

Nasab
Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Orang-tuanya
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna.

Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian)”.

Masa Kecil
Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharomkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama.

Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Dakwahnya
Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai da’i, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhromaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhromaut tetapi juga datang dari luar Hadhromaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrohman bin Abdullah Bilfaqih, dll.

Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rosullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Rotib ini. Rotib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qodar tahun 1071 H.

Akhlaq dan Budi Pekerti
Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.

Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.
Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.

Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.

Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.

Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”
Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam.

Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.
Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.

Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.
Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.

Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampuni Allah”

Wafatnya
Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhromaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rohmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.


Habib Abdullah Al Haddad dimata Para Ulama
Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H)”.

Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy”.

Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”

Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka’at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnya”.

Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).

Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.

Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”

Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.”

Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku ber-ta’alluq kepadanya.”
Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini. ”

Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”

Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”

Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.”

Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”

Karya-karyanya

Beliau meninggalkan kepada umat Islam khazanah ilmu yang banyak, yang tidak ternilai, melalui kitab-kitab dan syair-syair karangan beliau. Antaranya ialah:

1. An-Nashaa’ih Ad-Dinniyah Wal-Washaya Al-Imaniyah.
2. Ad-Dakwah At Tammah.

3. Risalah Al-Mudzakarah Ma’al-Ikhwan Wal-Muhibbin.
4. Al Fushuul Al-Ilmiyah.

5. Al-Hikam.
6. Risalah Adab Sulukil-Murid.

7. Sabilul Iddikar.
8. Risalah Al-Mu’awanah.

9. Ittihafus-Sa’il Bi-Ajwibatil-Masa’il.
10. Ad-Durrul Manzhum Al-Jami’i Lil-Hikam Wal-Ulum.*

* Kitab ini adalah kumpulan syair-syair Al-Imam. Qasidah-qasidah dalam album ini di ambil dari kitab ini. Mutiara Qasidah Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad dapat didownload secara cuma-cuma disini : http://www.alhawi.net/MutiraQasidah.htm



Demikian sekilas dari sejarah beliau. Karya-karyanya sangat masyhur di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah ratib Al Haddad (baca ‘n download ratibnya disini : http://qomarfauzie.wordpress.com/2007/06/19/ratib-al-haddad/). Ratib ini sering dibaca di berbagai majlis dan masjid-masjid di kampung kita karena memiliki banyak faedah bagi yang membacanya. Nah, tunggu apalagi yuk..mari kita teladani dan amalkan ajaran-ajaran beliau…

Sumber :

http://www.alhawi.net/riwayat.htm

http://qomarfauzie.wordpress.com/2007/07/13/ringkasan-riwayat-hidup-al-habib-abdullah-bin-alwi-al-haddad/

al Qusyairi Pengarang al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawuf

   
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad, nama kun-yahnya Abul Qasim. Beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi yaitu : pertama, An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw. Kedua, al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut. Ketiga, al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Keempat, Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada madzhab Syafi’i yang didirikan oleh al-Imam Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M. Kelima, al-Qusyairi memiliki gelar kehormatan, antara lain: al-Imam, al-Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Al-Qusyairi lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Ia mempunyai garis keturunan dari pihak ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil al-Sulami termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga Al-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu : al-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan al-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah. Ia meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M. Ketika beliau berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syaikh Abu Ali al-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi.
Pada masa itu, kondisi pemerintahan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Pada penguasa dan staf-stafnya berlomba-lomba memperberat tingkat pungutan pajak. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa beliau untuk bercita-cita meringankan beban dari masyarakat. Beliau berpikiran pergi ke Naisabur untuk belajar hitung yang berkaitan pajak. Naisabur pada saat itu berposisi sebagai ibu kota Khurasan yang sebelumnya merupakan pusat tempat para ulama dan pengarang serta para pujangga. Sesampainya di Naisabur beliau belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisabur dan lebih dikenal dengan al-Daqaq. Semenjak pertama kali mendengar fatwanya, beliau sudah mengaguminya. Sementara Syaikh al-Daqaq sendiri juga berfirasat bahwa pemuda ini seorang murid yang cerdas dan brilian. Karena itu, Syaikh al-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Kenyataan ini membuat beliau mencabut cita-citanya semula, membuang pikiran yang berencana menguasai peran pemerintahan dan memilih thariqah sebagai garis perjuangan.
Beliau menikah dengan Fatimah, putri guru sejatinya (al-Daqaq). Dia seorang wanita berilmu, beradab, dan termasuk ahli zuhud yang diperhitungkan di zamannya. Beliau hidup bersamanya semenjak tahun 405 H/1014 M - 412 H/1021 M dan meninggalkan enam orang putra dan seorang putri. Kesemuanya adalah ahli ibadah. Al-Qusyairi berangkat haji dengan ulama-ulama terkemuka yang sangat dihormati pada waktu itu, di antaranya adalah Syaikh Abu Muhammad Abdullah ibn Yusuf al-Juwainy, salah seorang ulama tafsir, bahasa dan fiqh.
Beliau termasuk orang yang pandai menunggang kuda. Kepiawaiannya telah dibuktikan dalam berbagai lapangan pacuan kuda. Beliau juga seorang yang tangkas memainkan senjata. Permainannya benar-benar sangat mengagumkan. Ia mempunyai seekor kuda pemberian teman akrabnya, dan menggunakannya selama 20 tahun. Ketika beliau meninggal, kudanya ini sangat sedih, selama seminggu kuda tersebut tidak mau makan, sehingga akhirnya kuda tersebut meninggal karena sedih dan lapar.
Selain Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisaburi al-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1). Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husin ibn Muhammad al-Azdi al-Sulami al-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang. (2). Abu Bakar Muhammad ibn al-Husain ibn Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang imam usul fiqh. (3). Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad ibn Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang fiqh dan usul fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Kepadanya beliau belajar Ushuluddin. (4). Abu Manshur aliah Abdur Qahir ibn Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, kepadanya beliau belajar madzhab Syafi’i.
Dalam pengajaran, beliau memakai sistem majelis imla’ dan majelis tadzkir. Beliau mengadakan majelis imla’ bidang hadits di Baghdad pada tahun 432 H/1040 M, beberapa paradigma yang dibuatnya dilampiri sejumlah gubahan puisi religius. Kemudian menghentikan kegiatan ini dan pulang ke Naisabur tahun 455 H/1063 M, untuk merintis kegiatan semacamnya.
Beliau sebagaimana dikatakan oleh al-Subkhi adalah seorang ulama yang menguasai bidang ilmu, termasuk bahasa, sastra dan budaya. Karena itu beliau juga disebut seorang sastrawan sekaligus penulis. Ulama penyair ini banyak mengubah syair-syairnya secara improvisasi. Ali al-Bakhilzi banyak menyebut karya-karyanya dalam kitab Damiyatul al-Qashri.
      KARYA-KARYANYA
      Al-Qusyairi dapat mengarang dalam kitab-kitabnya yang berisi masalah tasawuf dan ilmu-ilmu Islam. Antara lain:
1)Ahkam al-Syar’i
2)Adab al-Shufiyah
3)Al-Arba’un fi al-Hadits
4)Istifadhah al-Muradat
5)Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf
6)At-Tahbir fi Tadzkir
7)Tartib al-Suluk, fi Thariqillahi Ta’ala
8)Al-Tauhid al-Nabawi
9)At-Taisir fi ‘Ilmi al-Tafsir
10)Al-Jawahir
11)Hayat al-Arwah dan al-Dalil ila Thariq al-Shalah
12)Diwan al-Syi’ri
13)Al-Dzikr wa al-Dzakir
14)Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawuf
15)Sirat al-Masayikh
16)Syarâh Asma al-Husna
17)Syikuyat Ahl al-Sunnah bi Hikayati ma Nalahun min al-Mihnah
18)Uyun al-Ajwibah fi Ushul al-Asilah
19)Lathaif al-Isyarat
20)Al-Fushul fi al-Ushul
21)Al-Luma’ fi al-I’tiqad
22)Majalis Abi Ali al-Hasan al-Daqaq
23)Al-Mi’raj
24)Al-Munajah
25)Mantsuru al-Khitab fi Syuhub al-Albab
26)Nasikhu al-Hadits wa Mansukhuhu
27)Nahw al-Qulub al-Shaghir
28)Nahw al-Qulub al-Kabir
29)Nukatu Uli al-Nuha
      AJARAN-AJARANNYA
Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh al-Qusyairi berkaitan dengan tasawuf antara lain adalah: pertama, menolak terhadap para sufi Syatahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan yang mengesankan terjadinya persatuan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan. Kedua, mengemukakan ketidaksetujuan terhadap para sufi pada masanya yang mempunyai kegemaran untuk mempergunakan pakaian-pakaian orang-orang miskin, tetapi perilakunya bertolak belakang dengan pakaian yang mereka kenakan.
Pendapat al-Qusyairi memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masanya dianggap telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah, maupun dari segi moral dan tingkah laku. Al-Qusyairi ingin mengembalikan arah tasawuf pada doktrin ahl al-sunnah wa al-jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah. Usaha yang dilakukannya merupakan pembuka jalan bagi al-Ghazali yang berafiliasi pada aliran yang sama iaitu al-Asy’ariyah.
Al-Qusyairi berpendapat bahwa hal adalah sesuatu yang dirasakan manusia seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lain, merupakan suatu pemberian atau karunia, sedangkan maqam diperoleh dari hasil usaha. Hal datang dari yang ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus menerus. Pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik turun (berubah-ubah).
Fana’ dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan sifat-sifat terpuji,Beberapa maqam yang dikemukakan oleh al-Qusyairi iaitu :
1) Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Kata tobat menurut bahasa berarti “kembali”, maka tobat artinya kembali dari sesuatu yang di cela dalam syari’at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari’at.
2)  Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat.
3)  Khalwah dan uzlah, khaliyah merupakan sifat ahli sufi, sedangkan uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT.
Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu. Maka setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Seorang orang arif adalah alim.
DAFTAR PUSTAKA
    1.Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah, terj. Mohammad Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. xiv.
    2.Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 142.
    3.Umar Ismail Asep, dkk., Tasawuf, Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005.

Selasa, 15 Mei 2012

Syuyukh al-Azhar Mesir

The Grand Imams of Al-Azhar (Shuyukhul Azhar)



Assalamu 'alaikum.

Di ruangan ini, saya ingin paparkan riwayat hidup para Syeikh al-Azhar Mesir. Namunnya,  saya tiada kesempatan masa untuk berbuat demikian.

Di sini dilampirkan link yang memaparkan riwayat hidup semua para Syeikh al-Azhar tersebut.  


atau



Untuk mengenali secara ringkas Institusi Syeikh al-Azhar, berikut dipaparkan artikel mengenainya.
Dalam tradisi ilmu Islam terdapat pelbagai gelaran yang diberikan kepada ulamak seperti syeikh al-Islam, hujatul Islam, Imam al-Akbar dan lain-lain. Gelaran tersebut merupakan gelaran yang diberikan kepada mereka yang menguasai ilmu-ilmu Islam dengan baik terutama dalam bidang fikah. Gelaran syeikh al-Islam merupakan gelaran yang dipakai oleh golongan salafus saleh daripada tabi’in seperti Said bin Musaib, Hassan al-Basri, Imam Laith bin Saad, Sufian al-Sauri, Abdullah bin Mubarak dan lain-lain. Sebelum tahun 1935M, mufti negeri Kedah dikenali sebagai Syeikh al-Islam dan kemudian dikenali ketua Majma’ Masyakhatul-Islam (Ketua Persidangan syeikh-syeikh Islam)

Di Mesir, ulamak yang paling tinggi kedudukannya dikenali sebagai syeikh al-Azhar. Beliau berperanan untuk mengelola dan mengurus institusi al-Azhar. Al-Azhar yang dibina pada 359H/970M telah mempunyai 43 Syeikh al-Azhar. Mereka terdiri daripada 17 syeikh yang bermazhab Syafi’i, 16 syeikh bermazhab Hanafi, 9 syeikh bermazhab Maliki. Gelaran ini mula diperkenalkan pada abad 17M. Pada zaman Uthmaniah, syeikh al-Azhar dilantik oleh pemerintah atas sokongan daripada ulamak keempat-empat mazhab. Pada tahun 1922, Raja Mesir berhak memilih syeikh al-Azhar diantara tiga orang yang dicadangkan oleh Majlis Ulamak al-Azhar.
Semasa rombakan al-Azhar pada tahun 1961, pemilihan syeikh al-Azhar diputuskan oleh Presiden dan semasa zaman Anwar Sadat, jawatan Syeikh al-Azhar adalah jawatan sepanjang hayat dan tidak boleh dilucutkan kecuali kematian. Antara rombakan pada tahun 1961 juga, Syeikh al-Azhar dikenali sebagai Imam al-Akhbar dan dianggap sebagai ketua agama yang tertinggi dan menjadi ketua dan penasihat dalam setiap perkara yang berhubung dengan pengajian Islam dan ketua Majlis tertinggi al-Azhar. Dalam kanun ini juga disebutkan bahawa Syeikh al-Azhar dipilih daripada kalangan Majma’ al-Buhus al-Islamiah (Badan Penyelidikan Islam) atau mereka yang mempunyai kelayakan yang disyaratkan oleh Majma’ tersebut. Kemudian mereka mencadangkan kepada Presiden untuk disahkan. Demikian juga dalam kanun ini diwujudkan jawatan Wakil al-Azhar (Timbalan Syeikh al-Azhar) yang memainkan peranan semasa ketiadaan Syeikh al-Azhar.

Syeikh al-Azhar yang pertama ialah Syeikh Muhamad al-Khuraysi (m. 1101H/1690M). Beliau bermazhab Maliki. Syeikh al-Azhar yang paling lama memegang jawatan tersebut ialah Syeikh Abdullah al-Shabrawi yang memegang selama 34 tahun. Beliau mula memegang jawatan tersebut pada tahun 1137h sehingga meninggal dunia pada tahun 1171H. Syeikh al-Azhar yang paling pendek memegang jawatan tersebut ialah Syeikh Abdul Rahman al-Nawawi iaitu selama sebulan. Antara syarat untuk memegang jawatan ini ialah berumur 45 tahun ke atas, terkenal dengan kewarakan dan ketakwaan, telah memiliki ijazah al-Alamiah (bersamaan ijazah M.A dan Ph.D), mempunyai pengalaman mengajar sekurang-kurangnya lima tahun di mana-mana kuliah di Universiti al-Azhar atau pernah memegang jawatan Mufti Mesir atau pernah memegang jawatan Hakim Mahkamah Tinggi Syariah. Institusi Syeikh al-Azhar ini memainkan peranan yang penting dalam mencorakkan masa depan al-Azhar. Syeikh Majid Salim (1882-1954M) menggariskan beberapa perkara yang perlu diambil perhatian oleh al-Azhar iaitu; mengkaji semula buku-buku pengajian agar bersesuaian dengan keadaan semasa, meningkatkan aktiviti penulisan dengan memberi anugerah sehingga lahirnya generasi ilmu, membina generasi al-Azhar yang kuat dalam membawa risalah Islam, menghantar ulamak-ulamak al-Azhar menjadi pendakwah dan penyelidik terutama di universiti-universiti Eropah, mengadakan hubungan dengan universiti-universiti lain dan `menggalakkan ulamak al-Azhar menulis dalam bahasa utama dunia dalam menjelaskan hakikat Islam. Syeikh Muhammad Mustafa al-Maraghi (1881-1945M) menegaskan bahawa tanggungjawab utama al-Azhari ialah memelihara syiar-syiar Islam dengan sempurna dan tidak ada orang lain yang dapat mengatasi pemeliharaannya terhadap syiar-syiar tersebut. Ia menjadi contoh teladan dengan tingkah laku dan perbuatannya bukan sekadar dengan percakapan. Perkara ini kerana tingkah laku akan memberi kesan yang besar kepada jiwa seseorang.

Syeikh Ibrahim Hamrus (1880-1960M) merupakan syeikh al-Azhar yang berpendirian tegas dalam melawan penjajahan Inggeris. Beliau telah menyertai peperangan melawan tentera Inggeris di Ismaliah dan menyeru rakyat Mesir atas nama al-Azhar melawan penjajah. Akibatnya pihak penjajah telah mengadu kepada Raja Mesir untuk dilucutkan jawatannya pada tahun 1952M. Begitu juga Syeikh al-Khadir Husain (1876-1958M) yang berpendirian tegas melawan penjajahan Perancis di Algeria. Beliau pernah menulis buku mengkritik buku Ali bin Abdul Raziq yang bertajuk “Islam dan Asas-Asas Pemerintahan.” Beliau juga pernah mengkritik buku Taha Hussain yang bertajuk “ Syair Jahiliah’ yang mempertikaikan sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail serta menganggap cerita masyarakat jahiliah itu sebagai dongeng.

Syeikh Abdul Halim Mahmud (1910-1978M) merupakan seorang ulamak dan Syeikh al-Azhar yang terkenal dengan kezuhudan dan kewarakan. Beliau adalah berkelulusan Ph.D dari Universiti Serbon, Perancis pada tahun 1940 dalam kajian Tasauf Islam. Tajuk Ph.D beliau ialah berkaitan tentang Haris bin Asad al-Muhasibi. Beliau dilantik menjadi Dekan Usuluddin pada tahun 1964. . Pada tahun 1970, beliau dilantik menjadi Wakil al-Azhar (Timbalan Syeikh Al-Azhar) dan pada tahun 1973 dilantik menjadi Syeikh al-Azhar. Beliau telah mengarang 68 buah buku Antara pendirian tegasnya ialah menentang Undang-Undang Kekeluargaan yang mengharamkan talak dan melarang poligami. Pada tahun 1974, pihak pemerintah telah mengeluarkan arahan agar al-Azhar dirombak dan al-Azhar dibawah penguasaan menteri yang mengakibatkan al-Azhar hilang kebebasan. Lalu beliau telah menghantar surat kepada Anwar Sadat melepas jawatan pada 1 Ogos 1974 dan tidak akan memegang jawatan tersebut kecuali digugurkan keputusan untuk menyerahkan al-Azhar kepada pentadbiran menteri. Antara sumbangan besar beliau ialah memantapkan Majma’ al-Buhuth al-Islamiah dan menggesa agar segala harta wakaf al-Azhar dikembalikan semula kepada al-Azhar untuk dibangunkan bagi tujuan dakwah.

Antara Syeikh al-Azhar ialah Syeikh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1917-1996M) Beliau pernah menjadi Mufti Mesir dalam era pemerintahan Anwar Sadat. Kemudian beliau dilantik Menteri Wakaf dan kemudian menjadi Syeikh al-Azhar pada tahun 1982. Beliau mempunyai pendirian yang tegas terutama dalam menentang Persidangan Penduduk di Kaherah pada tahun 1994 yang mengharus perhubungan homoseksual dan mengharuskan penguguran dan Muktamar Wanita pada tahun 1995 di Beijing. Dalam kenyataannya, kedua-dua persidangan tersebut adalah bertentangan dengan nilai-nilai akhlak manusia yang waras Beliau juga telah mengeluarkan fatwa bahawa tidak harus untuk pergi ziarah bagi menunaikan solat di Baitil Maqdis sehinggalah ia dikembalikan kepada umat Islam.

Syeikh Muhamad Sayyid Tantawi merupakan Syeikh al-Azhar sejak tahun 1996. Sebelum menjadi syeikh al-Azhar, beliau pernah menjadi Mufri Mesir, Dekan Kuliah dan mengajar di Kuliah Usuluddin. Beliau mendapat Ijazah kedoktoran daripada Universiti al-Azhar dalam bidang Tafsir dan pernah berkhidmat sebagai pensyarah di beberapa universiti di Iraq, Libya dan Arab Saudi. Beliau terkenal sebagai seorang yang alim dalam ilmu tafsir dan mempunyai Kitab “Tafsir al-Wasit” sebanyak 15 jilid. Beliau juga terkenal dengan kewarakan, bercakap dengan lembut dan mudah difahami. Semasa pertemuan penulis dengan Syeikh Muhamad Sayyid Tantawi pada tahun 2004 di pejabatnya, beliau memuji Malaysia sebagai sebuah negara Islam yang maju dan berharap agar umat Islam dapat meningkatkan dakwah Islamiah. Penulis semasa belajar sentiasa mengikuti pengajiannya dan khutbah yang disampaikannya. Ini disebabkan keistimewaannya dalam menafsirkan al-Quran. Semasa era pentadbirannya, beliau sentiasa memberi perhatian kepada peningkatan dan penguasaan ilmu dalam kalangan mahasiswa Malaysia di al-Azhar. Beliau sering menyuarakan agar mahasiswa Malaysia bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan menguasai Bahasa Arab dengan baik. Anugerah Doktor Kehormat yang diberikan oleh Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) pada tahun 2008 kepada Syeikh Muhamad Sayyid Tantawi merupakan pengiktirafan atas sumbangan beliau yang besar kepada mahasiswa Malaysia di al-Azhar dan dunia Islam. Penganugerahan ini juga akan mengeratkan hubungan al-Azhar dengan Malaysia terutama dalam bidang keilmuan.

Keilmuan Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi terutama dalam bidang tafsir tidak boleh dipertikaikan walaupun beliau mempunyai perbezaan pendapat dalam beberapa perkara seperti pandangannya mengenai riba bank yang dianggap bukan salah satu bentuk riba yang diharamkan. Beliau menyatakan perkara tersebut dalam bukunya bertajuk “Mu’amalat al-Bunuk wa Ahkamuha al-Syar’iah” (Muamalat Bank dan Hukum Syariat Mengenainya) yang diterbitkan pada tahun 1990. Kenyataan beliau ini telah mendapat bantahan ramai para ulamak termasuk Yusuf al-Qaradawi dan Jadul Hak Ali Jadul Hak, Syeikh al-Azhar ketika itu. Syeikh Muhamad Sayyid Tantawi juga pernah mengeluarkan kenyataan mempertahankan Islam daripada tuduhan Baba Vatikan yang mengatakan bahawa Islam tersebar melalui kekerasan, keganasan dan pedang. Majalah al-Azhar keluaran Disember 2006, menyiarkan kenyatan penuh dan sanggahan beliau terhadap isu itu sebanyak 45 halaman. Dalam kenyataan itu, beliau menegaskan bahawa Islam adalah agama yang disebarkan atas kerelaan penganutnya bukan melali paksaan. Beliau memgemukakan hujah-hujah al-Quran, al-hadis dan sejarah dalam membuktikan perkara tersebut.
 Sumber: Dr. Mohd Rumaizuddin Ghazali  ( http://www.mindamadani.my/content/view/237/1/ )

Isnin, 7 Mei 2012

Abu Hassan Ali al-Mawardi (364-450 H)

Imam al-Mawardi adalah seorang ulamak berbangsa Arab lagi faqih dan tergolong di kalangan ulamak fiqh bermazhab Syafi’i yang terulung. Beliau juga dianggap sebagai salah seorang daripada pemikir Islam dan tokoh politik yang paling menonjol semasa pemerintahan kerajaan Abbasiah.

Nama beliau yang sebenarnya ialah Abu Hassan Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi al-Basriy al-Syafi’i. Nasab nama beliau dinisbahkan kepada nama Mawardi kerana bapanya seorang penjual air mawar (مَاءُ الْوَرْدِ ). Di dalam kitab Subh al-A’syi, jilid 6 halaman 243, disebutkan ulamak-ulamak yang menukilkan perjalanan  hidup beliau berpendapat umur Imam al-Mawardi ialah 86 tahun.

Beliau dilahirkan di Basrah pada tahun 364 Hijrah. Ketika itu, kerajaan Abbasiah sedang berada di puncak ketinggian dalam segi keilmuan dan kemajuan pengetahuan Islam. Beliau wafat pada hari Selasa bulan Rabiul Awal tahun 450 Hijrah. Jenazah beliau disembahyangkan oleh Khatib Baghdadi, para ulamak dan pembesar kerajaan di masjid Madinah. Dinukilkan bahawa kewafatan beliau ialah selama 11 hari selepas wafatnya Abu Thayyib Thabari.

Beliau mempunyai seorang saudara lelaki yang tinggal di Basrah. Keduanya saling berutusan surat untuk bertanyakan tentang hal masing-masing. Pada suatu hari, saudara beliau telah mengutus surat dari Basrah kepada beliau yang pada masa itu tinggal di kota Baghdad. Dalam surat itu, saudara beliau telah menulis sebuah syair:

Kenyamanan udara kota Baghdad yang merindukanku,
Pergi mengunjunginya biarpun kemampuanku terbatas,
Betapakah kesabaranku kini padanya bila kan bertemu,
Dua kenyamanan udara berpanjangan dan berlalu amat singkat.

Dalam kitab Adab al-Qadhi jilid 1 halaman 22, dinyatakan beliau berasal dari sebuah keluarga yang sememangnya sangat mementingkan ilmu pengetahuan. Keluarga beliau sentiasa mengambil berat tentang pendidikannya dan pengajiannya. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajaran di kota Baghdad untuk meluaskan pengajian di dalam bidang keilmuan.

Pada peringkat awalnya, semasa menuntut ilmu di Basrah, beliau mendapat bimbingan daripada Abu Qasim Syaumiri, iaitu seorang ulamak yang terkenal di Basrah pada masa itu. Kemudian beliau berhijrah ke kota Baghdad dan tinggal di sana untuk mendapatkan tunjuk ajar daripada Imam Za’farani. Di sana beliau belajar hadis dan mengambil ilmu fiqh. Beliau juga berguru dengan Abu Hamid Isfaraini untuk melengkapkan keilmuannya.

Apabila telah mencapai satu taraf yang berkebolehan dan mempunyai ketokohan yang berketrampilan, beliau dibenarkan untuk mengajar ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di kota Basrah dan Baghdad. Beliau juga berpindah ke bandar-bandar lain semata-mata untuk menyebarkan ilmu pengetahuan agamanya sehinggalah beliau dilantik menjadi sebagai seorang qadhi di beberapa buah bandar. Tetapi akhirnya, beliau mengambil keputusan untuk menetap di kota Baghdad untuk selama beberapa tahun.

Di sana, beliau telah mengajar ilmu hadis, mentafsirkan al-Qur’an dan mengarang beberapa buah kitab. Kitab karangannya yang banyak menunjukkan beliau sememangnya alim dalam bidang ilmu hadis, feqh, sastera, nahu, falsafah, ilmu kemasyarakatan, politik dan ilmu akhlak.

Beliau digelar sebagai qadhil qudhat (ketua para hakim) pada tahun 429 Hijrah sehingga sebahagian daripada ahli-ahli fiqh pada masa itu tidak bersetuju beliau digelarkan dengan nama itu. Mereka mengatakan, tidak ada seorang pun yang layak untuk dinamakan dengan gelaran itu. Walaupun begitu, beliau tetap dipanggil dengan gelaran tersebut oleh sebahagian ulamak-ulamak pada masa itu. Buktinya, gelaran itu masih lagi dikaitkan dengan nama beliau sehinggalah beliau wafat. Bahkan, gelaran itu masih lagi termuat dalam kitab-kitab ulamak mutaakhirin, juga di dalam risalah-risalah pengkaji keilmuan.

Di sepanjang beliau memegang jawatan sebagai qadhi, beliau dapat mengetahui tentang perjalanan kehidupan seharian orang-orang awam pada zamannya secara dekat. Beliau juga dapat menyelami dan memutuskan perkara-perkara adat kebiasaan seharian untuk disesuaikan dengan panduan syarak. Daripada jawatan qadhi, beliau telah dinaikkan taraf kedudukannya di dalam tugas-tugas pentadbiran yang lebih tinggi. Di dalam jawatan barunya itu, beliau dapat mendekati pemimpin-pemimpin politik dan tokoh-tokoh pembesar kerajaan.
Di dalam kesempatan yang diberikan itu, beliau dapat memberikan sedikit sebanyak tunjuk ajar kepada pihak atasan di dalam peranannya untuk mengislah pentadbiran politik pada masa itu bersesuaian dengan undang-undang Islam. Daripada pengalaman beliau ini, kita dapat tahu beliau bolehlah dianggap sebagai seorang pemikir Islam yang dapat mengubah struktur pentadbiran politik pada masa itu, sekaligus menjadi bukti bahawa seorang pejuang kebenaran tidak seharusnya membiarkan pentadbiran sesebuah kerajaan digelumangi dengan percaturan politik yang tidak berlandaskan kepada panduan undang-undang Ilahi.


Akhlak dan Sifat Peribadinya:

Imam Mawardi sentiasa beriltizam dan beristiqamah sepanjang menghayati segala aktiviti serta gerak kerja kehidupan sehariannya. Beliau sentiasa mengarang dan menulis. Dengan itu, peribadinya sentiasa sesuai dengan kedudukan keilmuannya dan ketinggian keilmuannya.

Beliau juga terkenal sebagai seorang yang sangat dipercayai kebenarannya di kalangan ahli-ahli feqh bermazhab Syafie, seorang yang mulia dan tinggi kedudukannya di kalangan ulamak. Beliau mempunyai fikiran dan pandangan yang terbuka dalam bermazhab dan sentiasa mendalami di dalam setiap ilmu kajiannya. Beliau juga seorang yang lemah lembut, sopan dan tersangat hebat dari segi keilmuannya. Oleh itu, beliau sangat disenangi oleh pemerintah pada masa itu sehingga beliau sendiri mendapat tempat istimewa di hadapan khalifah.

Beliaulah yang sentiasa menjadi orang tengah dengan memberikan jalan penyelesaian sekiranya berlaku beberapa perselisihan pendapat di antara pembesar-pembesar kerajaan, khalifah dan rakyat. Beliau sangat mengambil berat tentang masalah mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk dinikmati oleh umum. Oleh itu, beliau mengarang kitab ( أدب الدنيا والدين  ) , di mana di dalamnya terkandung beberapa manhaj untuk mengislah individu dan rakyat keseluruhannya.

Beliau juga terkenal sebagai seorang yang berani untuk menegakkan hak dan kebenaran agama, walaupun beliau berada di kalangan pembesar-pembesar negeri. Dalam satu peristiwa yang berlaku pada tahun 426 Hijrah semasa bulan Ramadhan, khalifah telah memerintahkan agar ditambah الأعظم  شاه شاهين atau الملوك   مالكpada nama Jalalud Daulah ibn Buwaih. Tidak lama selepas itu, khalifah telah memanggil Jalalud Daulah dengan gelaran itu. Sebahagian ahli fiqh pada masa itu melarang penggunaan gelaran itu, lantaran gelaran itu hanya layak untuk Allah SWT sahaja.

Al-Syaimiri memberikan fatwa, penggunaan nama Malikul Muluk adalah bergantung kepada qasad dan niat seseorang. Begitu juga fatwa yang dikeluarkan oleh Abu Thayyib al-Thabari, menyebut gelaran Malikul Muluk semata-mata adalah diharuskan. Gelaran ini boleh dimaknakan sebagai raja bagi segala raja-raja di bumi. Seterusnya, beliau memberikan penjelasan, sekiranya seseorang itu boleh dipanggil dengan gelaran qadhi qudhat, gelaran Malikul Muluk juga diharuskan penggunaannya. Pendapat Abu Thayyib al-Thabari juga mendapat sokongan daripada al-Tamimi, salah seorang ulamak bermazhab Hanbali.

Akan tetapi, Imam Mawardi tetap bertegas dengan fatwanya yang mengatakan penggunaan gelaran Malikul Muluk adalah dilarang sama sekali. Sebagaimana yang disebutkan sebelum ini, Imam Mawardi adalah di antara orang yang terkenal di kalangan pembesar-pembesar Jalalud Daulah. Selepas Imam Mawardi memberikan fatwa penggunaan gelaran Malikul Muluk dilarang, beliau telah memutuskan hubungan dengan pembesar-pembesar negara. Apabila Jalalud Daulah mengetahui keadaan yang sebenarnya, beliau pun memanggil Imam Mawardi datang ke istana beliau. Imam Mawardi datang dengan rasa serba salah, lantas Jalalud Daulah berkata kepada beliau, “Beta sekarang telah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sekiranya kamu memberikan sesuatu kepada seseorang, nescaya kamu juga memberikannya kepada beta, kerana hubungan yang rapat antara kamu dengan beta. Kamu tidak akan membuat sebarang tindakan dan memberikan fatwa sesuatu kecuali kerana menegakkan agama. Oleh yang demikian, mulai dari sekarang kedudukan kamu akan menjadi lebih tinggi dari sebelum ini di kalangan pembesar-pembesar negara.”

Sebagaimana apa yang telah difatwakan oleh Qadhi Abu Thayyib al-Thabari di atas adalah mengikut qias ilmu fiqh, sementara fatwa yang telah dikeluarkan oleh Imam Mawardi adalah berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud, “Nama seseorang yang paling hina sekali pada hari kiamat kelak di sisi Allah Taala adalah menggunakan nama gelaran Malikul Muluk.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Di dalam sebuah riwayat yang lain pula Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud, “Kemurkaan Allah akan melampaui terhadap seseorang yang menggunakan nama gelaran Malikul Muluk.” Ibnu Subki kemudiannya menceritakan, selepas itu kebanyakan dari pemerintah kerajaan Bani Buwaih tidak lagi menggunakan nama gelaran Malikul Muluk, kemudian nama gelaran itu sedikit demi sedikit semakin hilang dari disertakan di awal nama-nama pemerintah kerajaan tersebut.

Ibnu Hilkan di dalam kitab  الأعيان وفيات jilid 2 halaman 444 menyatakan, Imam Mawardi mempunyai beberapa buah keramat. Sebahagiannya ialah Imam Mawardi tidak menzahirkan segala karangannya semasa beliau masih hidup lagi. Beliau telah menyimpan semua kitab tulisannya di sebuah tempat. Apabila beliau merasakan dirinya akan meninggal dunia, beliau berkata kepada seseorang yang dipercayai kebenarannya seraya menunjukkan kesemua kitab yang tersimpan di tempat yang ditentukan adalah kitab hasil tulisan tangannya. Beliau tidak menzahirkannya kepada umum semasa hayatnya, kerana beliau merasakan tidak ikhlas semasa beliau mengarang setiap barisan tinta yang dimuatkan di dalam kitab-kitab susunannya. Seterusnya, Imam Mawardi berkata kepada orang kepercayaannya, “Sekiranya aku hampir akan menghembuskan nafas yang terakhir nantinya dan berada di dalam keadaan yang nazak, kamu hendaklah meletakkan tangan kamu di atas tangan aku. Sekiranya tangan aku menggenggam tangan kamu, Allah Taala tidak menerima segala daya usaha aku ketika aku menyusun kesemua kitab karangan ini. Dengan itu, kamu hendaklah campakkan semua kitab karangan aku ke dalam Sungai Dajlah pada waktu malam. Sekiranya tangan aku terbuka luas dan tidak menggenggam tangan kamu, segala karangan aku diterima Allah. Kini aku mengharapkan segala daya usaha aku berasaskan kepada niat yang ikhlas kepada Allah Taala semata-mata.” Orang kepercayaan Imam Mawardi menceritakan, “Bila Imam Mawardi hampir menghembuskan nafas yang terakhir, aku pun meletakkan tangan di atas tangannya, aku dapati tangannya terbuka luas. Justeru itu, aku tahu segala karangan beliau diterima Allah Taala. Selepas itu, aku keluarkan semua kitabnya dari simpanannya untuk aku sebarkan kepada umum.”

Ibnu Subki menukilkan daripada Ibnu Khairun, anak murid Imam Mawardi, Imam Mawardi pernah berkata, “Mungkin kitab al-Hawi ini yang tidak diterima Allah.” Ibnu Khairun meneruskan ceritanya, “Aku lihat karangan-karangannya banyak sekali yang ditulis dengan tangan. Sebahagiannya aku sendiri tidak dapat habis membacanya semasa beliau masih hidup lagi.”

Sekiranya benar riwayat ini, menunjukkan Imam Mawardi tersangat tawadhuk, tidak tertipu dan dapat menjauhkan dirinya dari sifat-sifat megah serta berbangga diri. Beliau merasa takut segala kitabnya tidak diterima Allah Taala Yang Maha Kuasa, kerana ditakuti tidak disertai dengan niat yang teramat ikhlas kepadaNya.

Sebahagian dari sifat-sifatnya ialah beliau berinteraksi dengan semua golongan masyarakat yang berada di sekelilingnya dengan sifat hikmah dan mengikut keadaan suasana mereka, sentiasa memelihara sifat berani untuk menuntut sesuatu yang hak, khususnya ketika bermuamalah dengan orang jahil yang sentiasa menggambarkan menuntut ilmu adalah sesuatu perkara yang tidak digalakkan agama. Apabila orang seperti ini melihat alat-alat perkakas tulisan, mereka sentiasa akan menjauhkan diri. Bila mereka melihat kitab-kitab karangan para bijak pandai, mereka sentiasa mengelakkan diri untuk terus mengkajinya dengan lebih mendalam lagi. Imam Mawardi pernah berkata, “Sebahagian orang yang tergolong dalam kelompok ini adalah terdiri daripada orang yang mempunyai kedudukan yang tertinggi di dalam masyarakat dan orang yang mempunyai nama serta pangkat besar. Aku tersangat takut untuk mendekati mereka kerana aku sentiasa membawa alat-alat tulisan dan kitab. Aku tidak mahu menyusahkan mereka. Apabila aku menjauhkan diri dari mereka, aku merasa tenang dan sentiasa di dalam kebaikan. Apabila aku mendekati mereka, aku merasa sentiasa berada dalam keburukan dan kefasadan.”

Sebahagian dari para gurunya ialah Abu Qasim Abdul Wahid Syaimiri, Abu Hamid Ahmad Isfaraini, Syeikh Imam Abu Muhammad Bafi, Hassan Jabali, Ibnu Marastani Baghdadi, Muhammad ibnu Adi Minqara, Hussain ibnu Ali Karabisi, Abu Ibrahim Ismail Muzani, Ibnu Suraij, Abu Said Asthokhori, Muhammad ibnu Ali Qaffal dan Abu Ishak Ibrahim Maruzi. Sebahagian daripada anak-anak muridnya ialah Khatib Baghdadi, Ibnu Khairun, Abdul Malik bin Ibrahim Maqdisi, Ibnu Aribah, Ibnu Kadis Akbiri, Abu Bakar Khilwani, Abu Mansur Qusyairi, Abu Mansur Abdul Wahid Qusyairi, Abu Muhammad Abdul Ghani Basyrie, Abu Hassan Abdari dan Ruyani. Sebahagian daripada kitab-kitab karangannya ialah Iqna’, Amthalul Qur’an, Kafi Fi Syarhi Mukhtasaril Muzani, Muqtarin, Ahkamus Sultaniah, Adab Qadhi, A’lamun Nubuwwah, Tashilun Nazar, Nasihatul Muluk, Amthalu Walhikam, Hawi Kabir dan kitab Adab Takallum.


Imam Mawardi di kalangan ahli Fikir Islam:

Sebagaimana yang jelas kepada kita sebelum ini, Imam Mawardi telah mencapai darjat ketinggian dari segi keilmuan Islam. Beliau mengatasi semua tokoh ulamak mazhab Syafie pada masanya, sehinggalah semua ulamak pada masa itu memandangnya sebagai seorang yang mempunyai kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Kebanyakan tokoh pada masa itu seingkali mengambil pendapatnya kerana mereka menganggap Imam Mawardi adalah seorang ulamak yang bertaraf mujtahid dan mempunyai banyak ilmu yang dihafaz. Dengan sebab ini, Imam Mawardi mampu untuk meluaskan feqh mazhab Syafie dan menambahkan cabang-cabang ilmu mazhab dengan kemampuan ijtihadnya. Begitulah keadaan Imam Mawardi yang dianggap sebagai sebuah lautan yang mempunyai keilmuan luas yang mampu mencurahkan ilmunya dan mentafsirkan pengetahuannya sesuai dengan peribadinya yang mulia, di samping dengan kedudukan beliau dari segi keilmuannya dan pengetahuannya.


Orientalis dan Imam Mawardi:

Imam Mawardi mempunyai nasib yang amat baik sekali kerana para orientalis sendiri terpegun dengan karangannya terutama sekali kitab beliau yang bernama Ahkamus Sultaniah. Malah mereka seringkali mendapatkan kesan keilmuannya dengan secara mengkaji, memutalaah, mentahkik dan menta’lik. Sehinggakan sebahagian ulamak berpendapat, kitab Ahkamus Sultaniah adalah setanding dengan buku Siasah karangan Aristotle dalam bidang ilmu pemerintahan, sekiranya kitab karangan Imam Mawardi itu dijadikan bahan rujukan di negara-negara Islam, sementara buku Siasah pula dijadikan bahan rujukan di bandar-bandar di negara Yunani. Malah seorang orientalis berbangsa Jerman yang bernama Enger telah mencetak kitab Ahkamus Sultaniah karangan Imam Mawardi di bandar Bone, Jerman pada tahun 1853 Masihi.


Kedudukan Imam Mawardi Dari Segi Keilmuan dan Pengetahuan:

Imam Mawardi sendiri telah mengarang kitab dalam bidang politik dan pemerintahan Islam sebanyak 4 buah kitab, ditambah dengan kitab الكبير الحاوي yang menceritakan tentang keseluruhan kefahamannya sesuai dengan mazhab Syafi’i. Kitab-kitab itu ialah Ahkamus Sultaniah, Adab Wazir, Nasihatul Muluk dan Tashilun Nazar. Setiap kitab mempunyai tajuk tersendiri, walaupun ada tajuk yang hampir-hampir sama iaitu tajuk yang membincangkan tentang masalah perundangan, perekonomian dan kemasyarakatan.

Semua karangannya sesuai dengan peristiwa semasa, malah berusaha untuk mengolah hukum syarak disesuaikan dengan masalah baru yang tidak pernah wujud sebelumnya. Ini menunjukkan beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang politik dan pentadbiran pemerintahan, kerana suasana yang kacau bilau yang melanda semasa hayat beliau. Oleh itu, beliau berusaha memberi nasihat kepada pihak yang sentiasa berebutkan jawatan dan pangkat duniawi dalam kerajaan Buwaih, kerajaan Salajikah dan kerajaan kecil lainnya.

Sekalipun Imam Mawardi berusaha menyebarkan kefahamannya dalam mazhab Syafi’i, beliau tidaklah mengenepikan sesuatu pendapat yang tidak diiktikadnya. Beliau tidak pernah melupakan peribadi guru yang pernah mendidiknya, sekalipun berlainan mazhab dengannya, bahkan sentiasa mengamalkan kebebasan berfikir selagi tidak bercanggah dengan prinsip Islam itu sendiri.

Ketika berbincang dengan ulamak semasa, beliau sentiasa menggunakan sumber ilmu Islam. Beliau mengutamakan masdar kitab al-Qur’an, kemudian bersandarkan kepada Hadis Nabawi.

Daripada semua keterangan yang disebutkan, kita boleh membuat kesimpulan, Imam Mawardi layak digelar sebagai qadhi qudhat, kerana beliau merupakan orang yang paling bersederhana antara taklid dan berijtihad. Daripada kitab karangannya, beliau dikelaskan sebagai ulamak yang banyak karangannya setanding dengan Imam Tabari, Mas’udi, Imam Ghazali dan Ibnu Rusd.


Sumber:  http://ajuncell.blogspot.com/2011/03/imam-mawardi.html