Memaparkan catatan dengan label ulama tasawwuf. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label ulama tasawwuf. Papar semua catatan

Jumaat, 13 Julai 2012

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (471-651 H)

Biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani termuat dalam kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Tetapi, buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.

Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.

Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari'atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo'a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS. Al Jin:18)

Kelahirannya


Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

Pendidikannya


Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.

Pemahamannya


Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. "Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas 'Arsy.

Dakwahnya

Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.

Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.

Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut, "Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.

Wafatnya


Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Pendapat ulama

Ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."

Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para Syeikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."

Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "

Imam Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syeikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.

Isnin, 9 Julai 2012

al-Habib Abdullah bin Alwy al-Hadad


Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad, lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhromaut, Negeri Yaman.

Nasab
Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Orang-tuanya
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna.

Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian)”.

Masa Kecil
Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharomkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama.

Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Dakwahnya
Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai da’i, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhromaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhromaut tetapi juga datang dari luar Hadhromaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrohman bin Abdullah Bilfaqih, dll.

Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rosullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Rotib ini. Rotib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qodar tahun 1071 H.

Akhlaq dan Budi Pekerti
Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.

Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.
Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.

Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.

Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.

Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”
Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam.

Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.
Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.

Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.
Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.

Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampuni Allah”

Wafatnya
Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhromaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rohmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.


Habib Abdullah Al Haddad dimata Para Ulama
Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H)”.

Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy”.

Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”

Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka’at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnya”.

Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).

Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.

Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”

Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.”

Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku ber-ta’alluq kepadanya.”
Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini. ”

Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”

Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”

Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.”

Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”

Karya-karyanya

Beliau meninggalkan kepada umat Islam khazanah ilmu yang banyak, yang tidak ternilai, melalui kitab-kitab dan syair-syair karangan beliau. Antaranya ialah:

1. An-Nashaa’ih Ad-Dinniyah Wal-Washaya Al-Imaniyah.
2. Ad-Dakwah At Tammah.

3. Risalah Al-Mudzakarah Ma’al-Ikhwan Wal-Muhibbin.
4. Al Fushuul Al-Ilmiyah.

5. Al-Hikam.
6. Risalah Adab Sulukil-Murid.

7. Sabilul Iddikar.
8. Risalah Al-Mu’awanah.

9. Ittihafus-Sa’il Bi-Ajwibatil-Masa’il.
10. Ad-Durrul Manzhum Al-Jami’i Lil-Hikam Wal-Ulum.*

* Kitab ini adalah kumpulan syair-syair Al-Imam. Qasidah-qasidah dalam album ini di ambil dari kitab ini. Mutiara Qasidah Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad dapat didownload secara cuma-cuma disini : http://www.alhawi.net/MutiraQasidah.htm



Demikian sekilas dari sejarah beliau. Karya-karyanya sangat masyhur di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah ratib Al Haddad (baca ‘n download ratibnya disini : http://qomarfauzie.wordpress.com/2007/06/19/ratib-al-haddad/). Ratib ini sering dibaca di berbagai majlis dan masjid-masjid di kampung kita karena memiliki banyak faedah bagi yang membacanya. Nah, tunggu apalagi yuk..mari kita teladani dan amalkan ajaran-ajaran beliau…

Sumber :

http://www.alhawi.net/riwayat.htm

http://qomarfauzie.wordpress.com/2007/07/13/ringkasan-riwayat-hidup-al-habib-abdullah-bin-alwi-al-haddad/

al Qusyairi Pengarang al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawuf

   
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad, nama kun-yahnya Abul Qasim. Beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi yaitu : pertama, An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw. Kedua, al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut. Ketiga, al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Keempat, Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada madzhab Syafi’i yang didirikan oleh al-Imam Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M. Kelima, al-Qusyairi memiliki gelar kehormatan, antara lain: al-Imam, al-Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Al-Qusyairi lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Ia mempunyai garis keturunan dari pihak ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil al-Sulami termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga Al-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu : al-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan al-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah. Ia meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M. Ketika beliau berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syaikh Abu Ali al-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi.
Pada masa itu, kondisi pemerintahan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Pada penguasa dan staf-stafnya berlomba-lomba memperberat tingkat pungutan pajak. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa beliau untuk bercita-cita meringankan beban dari masyarakat. Beliau berpikiran pergi ke Naisabur untuk belajar hitung yang berkaitan pajak. Naisabur pada saat itu berposisi sebagai ibu kota Khurasan yang sebelumnya merupakan pusat tempat para ulama dan pengarang serta para pujangga. Sesampainya di Naisabur beliau belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisabur dan lebih dikenal dengan al-Daqaq. Semenjak pertama kali mendengar fatwanya, beliau sudah mengaguminya. Sementara Syaikh al-Daqaq sendiri juga berfirasat bahwa pemuda ini seorang murid yang cerdas dan brilian. Karena itu, Syaikh al-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Kenyataan ini membuat beliau mencabut cita-citanya semula, membuang pikiran yang berencana menguasai peran pemerintahan dan memilih thariqah sebagai garis perjuangan.
Beliau menikah dengan Fatimah, putri guru sejatinya (al-Daqaq). Dia seorang wanita berilmu, beradab, dan termasuk ahli zuhud yang diperhitungkan di zamannya. Beliau hidup bersamanya semenjak tahun 405 H/1014 M - 412 H/1021 M dan meninggalkan enam orang putra dan seorang putri. Kesemuanya adalah ahli ibadah. Al-Qusyairi berangkat haji dengan ulama-ulama terkemuka yang sangat dihormati pada waktu itu, di antaranya adalah Syaikh Abu Muhammad Abdullah ibn Yusuf al-Juwainy, salah seorang ulama tafsir, bahasa dan fiqh.
Beliau termasuk orang yang pandai menunggang kuda. Kepiawaiannya telah dibuktikan dalam berbagai lapangan pacuan kuda. Beliau juga seorang yang tangkas memainkan senjata. Permainannya benar-benar sangat mengagumkan. Ia mempunyai seekor kuda pemberian teman akrabnya, dan menggunakannya selama 20 tahun. Ketika beliau meninggal, kudanya ini sangat sedih, selama seminggu kuda tersebut tidak mau makan, sehingga akhirnya kuda tersebut meninggal karena sedih dan lapar.
Selain Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisaburi al-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1). Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husin ibn Muhammad al-Azdi al-Sulami al-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang. (2). Abu Bakar Muhammad ibn al-Husain ibn Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang imam usul fiqh. (3). Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad ibn Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang fiqh dan usul fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Kepadanya beliau belajar Ushuluddin. (4). Abu Manshur aliah Abdur Qahir ibn Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, kepadanya beliau belajar madzhab Syafi’i.
Dalam pengajaran, beliau memakai sistem majelis imla’ dan majelis tadzkir. Beliau mengadakan majelis imla’ bidang hadits di Baghdad pada tahun 432 H/1040 M, beberapa paradigma yang dibuatnya dilampiri sejumlah gubahan puisi religius. Kemudian menghentikan kegiatan ini dan pulang ke Naisabur tahun 455 H/1063 M, untuk merintis kegiatan semacamnya.
Beliau sebagaimana dikatakan oleh al-Subkhi adalah seorang ulama yang menguasai bidang ilmu, termasuk bahasa, sastra dan budaya. Karena itu beliau juga disebut seorang sastrawan sekaligus penulis. Ulama penyair ini banyak mengubah syair-syairnya secara improvisasi. Ali al-Bakhilzi banyak menyebut karya-karyanya dalam kitab Damiyatul al-Qashri.
      KARYA-KARYANYA
      Al-Qusyairi dapat mengarang dalam kitab-kitabnya yang berisi masalah tasawuf dan ilmu-ilmu Islam. Antara lain:
1)Ahkam al-Syar’i
2)Adab al-Shufiyah
3)Al-Arba’un fi al-Hadits
4)Istifadhah al-Muradat
5)Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf
6)At-Tahbir fi Tadzkir
7)Tartib al-Suluk, fi Thariqillahi Ta’ala
8)Al-Tauhid al-Nabawi
9)At-Taisir fi ‘Ilmi al-Tafsir
10)Al-Jawahir
11)Hayat al-Arwah dan al-Dalil ila Thariq al-Shalah
12)Diwan al-Syi’ri
13)Al-Dzikr wa al-Dzakir
14)Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawuf
15)Sirat al-Masayikh
16)Syarâh Asma al-Husna
17)Syikuyat Ahl al-Sunnah bi Hikayati ma Nalahun min al-Mihnah
18)Uyun al-Ajwibah fi Ushul al-Asilah
19)Lathaif al-Isyarat
20)Al-Fushul fi al-Ushul
21)Al-Luma’ fi al-I’tiqad
22)Majalis Abi Ali al-Hasan al-Daqaq
23)Al-Mi’raj
24)Al-Munajah
25)Mantsuru al-Khitab fi Syuhub al-Albab
26)Nasikhu al-Hadits wa Mansukhuhu
27)Nahw al-Qulub al-Shaghir
28)Nahw al-Qulub al-Kabir
29)Nukatu Uli al-Nuha
      AJARAN-AJARANNYA
Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh al-Qusyairi berkaitan dengan tasawuf antara lain adalah: pertama, menolak terhadap para sufi Syatahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan yang mengesankan terjadinya persatuan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan. Kedua, mengemukakan ketidaksetujuan terhadap para sufi pada masanya yang mempunyai kegemaran untuk mempergunakan pakaian-pakaian orang-orang miskin, tetapi perilakunya bertolak belakang dengan pakaian yang mereka kenakan.
Pendapat al-Qusyairi memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masanya dianggap telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah, maupun dari segi moral dan tingkah laku. Al-Qusyairi ingin mengembalikan arah tasawuf pada doktrin ahl al-sunnah wa al-jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah. Usaha yang dilakukannya merupakan pembuka jalan bagi al-Ghazali yang berafiliasi pada aliran yang sama iaitu al-Asy’ariyah.
Al-Qusyairi berpendapat bahwa hal adalah sesuatu yang dirasakan manusia seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lain, merupakan suatu pemberian atau karunia, sedangkan maqam diperoleh dari hasil usaha. Hal datang dari yang ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus menerus. Pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik turun (berubah-ubah).
Fana’ dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan sifat-sifat terpuji,Beberapa maqam yang dikemukakan oleh al-Qusyairi iaitu :
1) Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Kata tobat menurut bahasa berarti “kembali”, maka tobat artinya kembali dari sesuatu yang di cela dalam syari’at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari’at.
2)  Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat.
3)  Khalwah dan uzlah, khaliyah merupakan sifat ahli sufi, sedangkan uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT.
Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu. Maka setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Seorang orang arif adalah alim.
DAFTAR PUSTAKA
    1.Imam al-Qusyairi an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah, terj. Mohammad Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. xiv.
    2.Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Ustmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 142.
    3.Umar Ismail Asep, dkk., Tasawuf, Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005.

Isnin, 7 Mei 2012

Syaikh Abdur Rauf al-Fansuri al-Singkili (1592-1693M)


Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah


MENGENAI ulama ini sangat banyak ditulis orang, namun tulisan ini terlebih dahulu mengemukakan kelainan penulisan yang bersumber daripada orientalis yang diikuti oleh hampir semua penulis dunia Melayu, iaitu tentang namanya yang dikemukakan sebagai Abdur Rauf Singkil atau al-Sinkili. Walhal daripada Syeikh Abdur Rauf sendiri belum ditemui penambahan perkataan Sinkili di hujung namanya, yang ada hanyalah ‘al-Fanshuri’.

Penambahan nama ‘al-Fanshuri’ bukan ‘as-Sinkili’ di hujung nama untuk Syeikh Abdur Rauf bin Ali yang tersebut dilanjutkan oleh semua ulama Melayu, yang dimulai oleh muridnya Baba Daud bin Ismail ar-Rumi ketika beliau menyelesaikan Turjumanul Mustafid atau Tafsir al-Baidhawi, demikian juga pada salasilah Tarekat Syathariyah dan Tarekat Qadiriyahnya.

Hal yang sama dilanjutkan pula oleh murid Baba Daud bin Ismail ar-Rumi bernama Syeikh Faqih Jalaluddin bin Kamaluddin al-Asyi dalam Manzharul Ajlanya. Malahan juga sama dengan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin al-Asyi di dalam Bidayatul Hidayahnya. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam Manhalush Shafi juga menyebut nama Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri.

Demikian halnya dengan Syeikh Abdus Shamad al-Palimbani di dalam Siyarus Salikin. Demikian halnya dengan Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani di dalam Aqidatun Najin dan juga Syeikh Ahmad al-Fathani pada kenyataannya sewaktu mentashhih kitab Turjumanul Mustafid/Tafsir al-Baidhawi.

Barangkali tulisan terawal di kalangan ulama yang menyebut ulama ini berasal dari Singkel ialah Syeikh Abdur Rauf bin Makhalid Khalifah al-Qadiri al-Bantani dalam karyanya berjudul Mukhtashar Tashnif Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri. Di antara tulisannya, “… dan berkata orang yang arif, iaitu Syeikh Abdur Rauf anak Ali, Singkil nama negerinya”.

Pada halaman terakhir manuskrip tertulis, “Ini kami mengambil risalah ini karangan Syaikhu Masyaikh segala Jawi Syeikh Abdur Rauf Aceh, Singkil nama kampungnya ….”

Namun dalam tulisan ini, penulis tetap mengikut tulisan ulama-ulama kita, iaitu menyebut nama lengkapnya Syeikh Aminuddin Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri. Nama Aminuddin yang biasa dipakai pada awal namanya, namun jika dihilangkan tidaklah cacat kerena untuk memendekkan kalimat.

ASAL USUL DAN PENDIDIKAN

Menurut pendapat A. Hasymi, ada dua orang ulama yang bersaudara keturunan Parsi, iaitu Ali al-Fansuri dan Hamzah al-Fansuri. Datuk nenek kedua-duanya diberi kepercayaan oleh kerajaan memimpin pusat pendidikan yang bernama Daya Blang Pria. Ulama tersebut bernama Syeikh al-Fansuri.

Bahawa pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Said Mukammil, 997-1011 H/1589-1604 M, dua orang keturunan Syeikh al-Fansuri itu mendirikan dua pusat pendidikan Islam di pantai barat Tanah Aceh, iaitu Syeikh Ali al-Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan. Adiknya Syeikh Hamzah al-Fansuri mendirikan Dayah Obah di Simpang Kiri Rundeng.

Pada 1001H/1592M, Syeikh Ali al-Fansuri dikurniakan seorang putera yang diberi nama Abdur Rauf. Ada pendapat lain menyebut bahawa Abdur Rauf lahir dalam tahun 1024H/1615M. Pendapat tersebut berbeza dengan pendapat Dada Meuraxa, menurutnya Abdur Rauf lahir di Singkel (Aceh Selatan), ibunya berasal dari Barus. Katanya, dalam sejarah abad ke-16 terdapat dua ulama yang serupa namanya, Syeikh Abdur Rauf dari Singkel dan Syeikh Abdur Rauf dari Barus.

Hamka dalam bukunya yang bercorak menyerang Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan berjudul “ Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao ” telah memansuhkan pendapatnya sendiri yang sebelumnya mengatakan bahawa yang bernama Syeikh Abdur Rauf itu adalah dua, dalam buku tersebut beliau mengatakan hanya seorang.

Walau bagaimana pun kalimat di bawah ini mencerminkan bahawa beliau masih belum tahqiq atau ragu-ragu. Katanya, “Tetapi saya akan kembali pula mengatakan dua kalau ada orang yang dapat mengemukakan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan”.

Pendapat Dada Meuraxa dan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan yang menyebut Syeikh Abdur Rauf ada dua orang disokong kuat oleh Abdullah Abbas Nasution dalam bukunya Sejarah Islam Sedunia 14 Abad Silam.

Dengan bersyukur kepada Allah, penulis menemukan bukti bahawa di Aceh pada zaman yang sama memang terdapat dua orang yang bernama Syeikh Abdur Rauf. Penulis juga menemukan sebuah manuskrip berjudul ‘ Durratun Nakhirah Tanbihan li Durril Fakhirah ’  karya Syeikh Sirajuddin bin Jalaluddin yang diselesaikan pada 1238 H/1822 M. Di dalam kitab tersebut diceritakan dua orang yang bernama Abdur Rauf, iaitu yang seorang Abdur Rauf saja dan yang seorang lagi Abdur Rauf Hitam.

Menurut jalan cerita kitab itu, yang Abdur Rauf saja iaitulah Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Kedua-dua Abdur Rauf itu menerima wasiat daripada Syeikh Muhammad az-Zainusy Syakhiyah sewaktu mereka masuk ke dalam kubah Syeikh Syazili di Mokha.

Jadi berdasarkan kepada kitab yang tersebut bererti Syeikh Abdur Rauf memang ada dua orang. Walaupun dalam kitab tersebut tidak memberi maklumat secara jelas bahawa mereka berasal dari Aceh, namun secara logiknya dapat diterima bahawa mereka memang datang dari negeri yang sama.

Secara umumnya, mereka sama-sama berasal dari Sumatera. Penulis tidak bermaksud mencampuri pertikaian-pertikaian pendapat yang tersebut, tetapi dua orang yang bernama Abdur Rauf itu, penulis ungkapkan adalah menceritakan suatu penemuan penulis yang terbaru. Sekaligus adalah merupakan jawaban terhadap tulisan Almarhum Buya Hamka yang masih mencari-cari tentang Syeikh Abdur Rauf satu atau dua orang itu.

Syeikh Abdur Rauf Hitam tidak dibicarakan dengan panjang di sini, yang dibicarakan ialah Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, penyusun Turjumanul Mustafid iaitulah terjemahan dan tafsir al-Quran yang pertama dalam bahasa Melayu.

Hampir semua karya beliau sudah penulis pegang dan baca, baik yang manuskrip mahupun cetakan. Ada pun karya ulama bernama Syeikh Abdur Rauf Hitam belum lagi penulis menemuinya. Oleh itu tidak perlu dibicarakan mengenai beliau dalam artikel ini.

Mengenai para gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri mencatatkan dalam karyanya, Umdatul Muhtajin, secara keseluruhannya, termasuk salasilah Tarekat Syathariyah dan Tarekat Qadiriyah, telah penulis tulis dalam buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara jilid 1. Namun begitu, baik pada manuskrip ‘Umdatul Muhtajin mahupun Kifayatul Muhtajin koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) terdapat ketinggalan beberapa nama jika dibandingkan dengan salasilah Tarekat Syathariyah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Pada salasilah Tarekat Syathariyah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, tidak tersebut nama Syeikh Abdullah asy-Syathari. Seharusnya guru Imam Qadi Syathari ialah Syeikh Abdullah asy-Syathari, dan guru Syeikh Abdullah asy-Syathari ialah Syeikh Muhammad Arif. Demikian menurut salasilah Tarekat Syathariyah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Pada salasilah Tarekat Syathariyah Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri langsung saja sesudah Syeikh Qadi Syathari berguru kepada Syeikh Muhammad Arif.

Orang-orang anti tarekat selalu berpendapat bahawa salasilah tarekat ada yang terputus-putus artinya seseorang guru tarekat meninggal dunia, muridnya pula belum lahir. Hal ini berlaku seperti Syeikh Hasan al-Kharqani tidak pernah berjumpa dengan Abi Yazid al-Bistami. Demikian juga Abi Yazid al-Bistami tidak pernah berjumpa dengan Imam Ja’far Shadiq.

Pandangan yang keliru dan salah itu perlu dijawab, jawabannya ialah bahwa kedua-dua tempat pada salasilah itu tidak terputus, dengan hujah-hujah sebagai yang berikut, bahawa yang tersebut ini memang ada golongan tarekat yang lebih suka menyebut bahawa penerimaan itu adalah secara rohaniah.

Namun secara arif, pengkaji-pengkaji dan pengamal-pengamal tarekat mempunyai hujah-hujah lain, iaitu sebenarnya Syeikh Hasan al-Kharqani sebelum menerima secara rohaniah daripada Syeikh Abi Yazid al-Bistami. Beliau terlebih dahulu belajar dengan Syeikh Abi Muzhaffar at-Thusi. Syeikh Abi Muzhaffar at-Thusi belajar pula kepada Khawajah Abi Yazid al-Asyqi. Khawajah Abi Yazid al-Asyqi belajar kepada Muhammad al-Maghribi. Khawajah Muhammad al-Maghribi inilah yang sebenarnya menerima tawajuh tarekat daripada Syeikh Abi Yazid al-Bistami.

Adapun perantaraan Syeikh Abi Yazid al-Bistami dengan Imam Ja’tar Shadiq pula, ialah Syeikh Abi Yazid al-Bistami berguru kepada Imam Ali Ridha. Imam Ali Ridha belajar kepada ayahnya Imam Musa al-Kazhim, Imam Musa al-Kazhim belajar pula kepada ayahnya Imam Ja’far as-Shadiq.

Dengan keterangan di atas tidak ragu lagi bahawa tarekat-tarekat yang diterima oleh Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri dari guru-gurunya selama berada di Mekah, Madinah dan Timur Tengah adalah sah ditinjau dari segi salasilah menurut istilah tasauf atau sanad dalam ilmu hadis.

Dari keseluruhan gurunya yang cukup ramai, yang paling banyak beliau sebut ialah Syeikh Ahmad al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-Kurani.

MURID-MURID DAN KETURUNAN

Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri sangat ramai, tetapi yang dapat dipastikan ada beberapa ulama besar yang sangat terkenal menyebarkan Islam di beberapa tempat di seluruh dunia Melayu. Antara mereka ialah, Baba Daud bin Agha Ismail bin Agha Mustata al-Jawi ar-Rumi. Beliau ini berasal daripada keturunan ulama Rom yang berpindah ke Turki, keturunannya pula pindah ke Aceh sehingga menjadi ulama yang tersebut ini. Keturunan beliau pula ada yang berpindah ke Pattani, sehingga menurunkan ulama terkenal iaitu Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani.

Setelah berkhidmat di Mekah dikirim oleh saudara sepupu dan gurunya Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani ke Kota Bharu, Kelantan untuk memimpin Matba’ah al-Miriyah al-Kainah al-Kalantaniyah. Lalu beliau berpindah ke Kota Bharu, Kelantan, beliau dikenal dengan gelaran ‘Tok Daud Katib’.

Ada pun Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi di atas beliau inilah yang menyempurnakan karya gurunya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang berjudul Turjumanul al-Mutafid atau yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Baidhawi Melayu, iaitu terjemah dan tafsir al-Quran 30 juzuk yang pertama dalam bahasa Melayu.

Naskhah asli tulisan tangan Baba Daud bin Ismail al-Jawi ar-Rumi itu dimiliki oleh keturunannya Tok Daud Katib, lalu naskhah itu diserahkan kepada guru dan saudara sepupunya Syeikh Ahmad al-Fathani.

Dari naskhah yang asli itulah diproses oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Daud bin Ismail al-Fathani dan Syeikh Idris bin Husein Kelantan sehingga terjadi cetakan pertama di Turki, di Mekah dan Mesir pada peringkat awal. Nama ketiga-tiga ulama itu yang dinyatakan sebagai Mushahhih (Pentashhih) pada setiap cetakan tafsir itu kekal diletakkan di halaman terakhir pada semua cetakan tafsir itu.

Turjumanul Mustafid yang diterbitkan sampai sekarang adalah merupakan lanjutan daripada cetakan yang dilakukan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dan dua orang muridnya itu (keterangan lanjut mengenai ini lihat buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, jilid 1, 1990:157-172).

Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang lain pula ialah Syeikh Burhanuddin Ulakan. Beliau inilah yang disebut sebagai orang yang pertama sebagai penyebar Islam di Minangkabau (Sumatera Barat) melalui kaedah pengajaran Tarekat Syathariyah.

Di Jawa Barat, Indonesia terkenal seorang murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang dianggap sebagai seorang Wali Allah. Beliau ialah Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sepanjang catatan sejarah, beliau dianggap orang pertama membawa Tarekat Syathariyah ke Jawa Barat dan selanjutnya berkembang hingga ke seluruh tanah Jawa.

Adapun mengenai Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi yang berasal dari tanah Bugis ada riwayat menyebut bahawa beliau juga murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Riwayat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi itu adalah sahabat Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, sama-sama belajar kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-Kurani.

Walau bagaimanapun, selembar salasilah yang ada pada penulis, yang ditemui di Kalimantan Barat, menyebut Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi menerima Tarekat Syathariyah kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu. Memang diakui bahawa Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi ialah orang pertama menyebarkan Tarekat Syathariyah di Tanah Bugis atau seluruh Sulawesi Selatan.

Bahkan dianggap juga beliau sebagai orang pertama menyebarkan pelbagai tarekat lainnya, di antaranya Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Tetapi berdasarkan manuskrip Mukhtashar Tashnif Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri oleh Syeikh Abdur Rauf bin Makhalid Khali-fah al-Qadiri al-Bantani bahawa Syeikh Yusuf al-Mankatsi adalah cucu murid kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, tertulis, “… kerana kata ini daripada Syeikh Yusuf (al-Mankatsi/al-Maqasari) turun daripada Syeikh Muhyuddin Karang (Pamijahan), turun daripada Syeikh Abdur Rauf al-Asyi”.

Murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia) pula, yang paling terkenal ialah Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Terengganu atau lebih popular dengan gelar Tok Pulau Manis yang mengarang berbagai-bagai kitab di antaranya Kitab Kifayah.’

Ada yang meriwayatkan bahawa Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani pernah belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Tetapi dalam penelitian penulis tidaklah demikian. Yang betul ialah ayah Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itu, iaitu Syeikh Abdul Mubin bin Jailan al-Fathani dipercayai adalah sahabat Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri kerana sama-sama belajar kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-Kurani. Sebagai pengenalan awal penyelidikan murid-murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di sini setakat ini dulu dan penyelidikan lanjut masih sedang dijalankan.

KARYA-KARYA

Syeikh Abdul Rauf bin Ali al-Fansuri termasuk dalam golongan ulama dunia Melayu yang produktif dalam bidang karangan dalam bahasa Melayu. Karya beliau telah penulis senaraikan dalam buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, jilid 1, sebanyak 25 buah.

Setelah buku tersebut diterbitkan, diketahui pula karya beliau yang belum termasuk dalam senarai yang tersebut. Karya-karya tersebut ialah: Aghmadhus Sail. Kitab ini baru ditemui hanya sebuah saja, iaitu yang diamanahkan kepada Muzium Islam Pusat Islam Kuala Lumpur. Kandungan kitab ini mengenai ilmu tauhid. Judul yang lain juga baru diketahui pula ialah Kanzul Insaniyi, telah menjadi koleksi Pusat Manuskrip Melayu PNM, nombor kelas MS1530.

Karya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang baru menjadi koleksi Pusat Manuskrip Melayu PNM pula ialah Durratul Baidha’ Tanbihan lin Nisa’ nombor kelas MS 1625.

Oleh itu, terdapat tiga karya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri yang baru diketahui, dengan disebutkan tiga buah kitab yang tersebut bererti ada 27 buah karya beliau yang telah dikenalpasti kerana Hujjatul Balighah ternyata bukan karya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, judul itu terpaksa digugurkan dari senarai yang telah lalu.

PENUTUP

Demikianlah satu tinjauan mengenai Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri ulama Asia Tenggara yang berasal dari Aceh Selatan atau menurut pendapat yang lain berasal dari Mandailing (daerah Batak) yang telah menggunakan masa hidup mulai tahun 1001/1592 M.

Namun menurut pendapat lain 1024H/1615 M, dan juga ada pendapat lain mengatakan 1620 M, hingga wafat tahun 1693 M. Setelah wafat lebih terkenal dengan sebutan Teuku Syiah Kuala.


Sumber:  http://ajuncell.blogspot.com/2011/08/syaikh-abdur-rauf-al-fansuri-as-singkili.html