Khamis, 1 Disember 2011

Imam Ibn Jarir al-Thabari (224-310H)


Memahami Al-Qur’an, teks yang berisi firman Allah, tak jarang memerlukan sebuah tafsir. Melalui tafsir kita mampu memahami apa yang dimaksud Allah dalam firman-Nya itu. Tak hairan jika di kalangan umat Islam muncul ahli-ahli tafsir dengan beragam karyanya. Melalui karya para ahli tafsir al-Quran masyarakat awam mampu memahami isi Al-Qur’an.

Salah satu ahli tafsir yang sangat berjasa ialah  Ibnu Jarir al-Thabari. Nama lengkapnya ialah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari. Ia lahir di Thabaristan, daerah pegunungan Parsi pada 224 H.

Kecermelangan akal al-Thabari tercermin dari kegemarannya terhadap ilmu sejak ia masih belia. Pada saat berusia 8 tahun, ia sudah diberi kepercayaan menjadi imam bagi orang-orang dewasa. Bahkan, setahun kemudian ia menuliskan banyak hadits.

Ketika beranjak dewasa, rasa dahaganya akan ilmu telah menghantar al-Thabari pada jalan pengembaraan ke berbagai kota pusat ilmu. Ia mengembara ke Baghdad, Wasit, Bashra, Kufah, Fustat, Syria, dan Mesir.

Di setiap kota yang disinggahinya ia belajar ilmu dari ulama-ulama besar dalam bidangnya. Dalam bidang hadits, ia belajar dari ulama besar hadits, Muhammad bin Humaid ar-Razi. Dari gurunya itu, Thabari mampu menulis lebih dari 100 ribu hadits. Ia juga dapat menuliskan jumlah hadits yang sama dari guru lainnya, Abu Kuwait.

Perintis Sejarah Islam

Dalam bidang sejarah, ia tercatat sebagai perintis sejarah Islam. Ia mendapatkan gelar “ Bapa Sejarah Islam ” karena jasanya meretas jalan di bidang kajian itu. Ilmunya dalam bidang ini pun berhasil diabadikan dalam sebuah karyanya yang agung berjudul: Tarikhul Umam wal Muluk, ( Sejarah Umat-umat dan Para Rajanya ).

Tafsir al-Thabari- rujukan tafsir terkemudian;

Ilmu hadits, sejarah, dan al-Qur’an yang dikuasai menjadi modal bagi al-Thabari untuk menguasai tafsir Al-Qur’an. Ia tumbuh menjadi ahli tafsir yang menjadi rujukan dan melahirkan karya yang monumental. Tafsir Jami’ul Bayan  fit Tafsiril Qur’an, yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Thabari merupakan referensi bagi ahli tafsir lain setelah masanya.

Dengan karya besarnya itu, kemudian al-Thabari mendapatkan julukan marja’ul maraji’ (induk para ahli tafsir). Ia adalah ahli tafsir awal yang karya tafsirnya sampai kepada masyarakat setelah masanya. Karyanya merupakan sebuah karya yang fenomenal.

Sebelum al-Thabari, memang banyak ahli tafsir yang lahir. Namun, karya mereka tak banyak ditemukan. Wajar saja jika semua ahli tafsir tak dapat memalingkan diri dari karya tafsirnya. Selain itu, Tafsir al-Thabari memiliki kualiti yang tinggi. Tafsirnya penuh dengan pijakan tafsiran Rasulullah (sunnah), pendapat para sahabat dan tabi’in serta tabi’ut tabi’in. Tafsir yang demikian lebih dikenal dengan tafsir bil ma’tsur, tafsir berdasarkan riwayat dan bukan tafsir bir-ra’yi yang berarti tafsir yang didasarkan akal dan pendapat pribadi.
al-Thabari memang memiliki kelebihan dalam beragam bidang. Kelebihannya ini membuat karya tafsirnya dianggap paling sahih dan hidup. Ahli tafsir ini amat menguasai sejarah, hadits maupun fikih. Bahkan dalam fikih ia mendapatkan gelar sebagai mujtahid mutlak. Layaknya para imam besar fikih perintis, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Karya tafsirnya dianggap sahih karena ia selalu menafsirkan suatu ayat dalam kitab suci dengan berpegang pada pendapat para sahabat dan tabi’in. Thabari selalu mencoba mencari pendapat yang kuat dengan memperlihatkan kekuatan dan kelemahan masing-masing dari berbagai segi. Kemudian ia akan mengambil pendapat yang paling valid dan argumentatif.

Sering ia menolak hadits untuk dijadikan argumentasi dalam sebuah penafsiran. Itu bila ia menganggap hadits tersebut lemah. Selain itu, juga karena hadits tersebut dianggapnya tak sesuai menjadi pijakan argumentasi dari suatu ayat yang ia tafsirkan.

Biasanya, al-Thabari mengambil langkah awal menafsirkan sebuah tafsir dengan mencari makna suatu ayat dari segi bahasa. Ia memahami arti lahiriah kata per kata. Untungnya, ia memiliki kemampuan dalam bidang bahasa dan sastra. Tahap selanjutnya, ia pun memasukkan aspek lain dalam melakukan penafsiran.

Dalam melakukan penafsiran, ia dikenal sebagai orang yang sangat hati-hati. Tak hairan jika karya tafsirnya dinilai berbobot dan mendapatkan kepercayaan yang besar. Terbukti, karya tafsirnya hingga kini menjadi bahan rujukan para penafsir kontemporer.

Ini terlihat dari komentar Syekh al-Islam Taqiyuddin Ahmad ibnu Taimiyah ketika diajukan pertanyaan tafsir mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia menjawab dari semua tafsir yang ada, karya al-Thabari merupakan karya yang paling otentik. Dalam tafsirnya, al-Thabari memuat ajaran salaf dengan rangkaian sanad yang sahih.

Hal senada juga dilontarkan oleh Fuad Sezkin. Ia menaruh perhatian pada kesahihan sanad dalam Tafsir al-Thabari. Ini mengindikasikan bahawa ketika menuliskan tafsirnya, al-Thabari merujuk pada kitab-kitab yang telah ada lebih awal. Ini pun membantah gunjingan para orientalis bahawa Tafsir al-Thabari hanya berdasar pada cerita lisan.

Kehidupannya;

Meski dikenal khalayak melalui karya tafsirnya, al-Thabari adalah orang yang sederhana. Ia berusaha menjauhi kehidupan duniawi, dengan selalu mengembangkan kehidupan zuhud, wara dan tawadhu. Salah seorang muridnya, bernama Abu Bakran bin Kamil, pernah bertutur mengenai laku keseharian yang menunjukkan kesederhanaan ahli tafsir ini.

Bila musim panas tiba, al-Thabari hanya mengonsumsi kurma yang dicampur dengan minyak. Tempat tidurnya hanya beralaskan kain tipis. Biasanya, selepas shalat zuhur ia akan menulis hingga empat puluh halaman. Ini ia lakukan selama 40 tahun. Waktu ashar ia akan bergegas ke masjid untuk berjamaah kemudian mengkaji Al-Qur’an.

al-Thabari tak hanya menggunakan hidupnya untuk dirinya sendiri. Ia juga memanfaatkan kemampuannya untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat sekitarnya. Ia menyediakan waktu khusus mengajarkan ilmunya, yakni setelah menunaikan shalat maghrib hingga habis waktu isyak.
al-Thabari tak hanya memberikan manfaat bagi kalangan masyarakat pada masanya. Ia meninggalkan karya yang sangat bermanfaat dan menjadi rujukan kalangan masyarakat hingga kini. Hidupnya yang penuh manfaat berakhir di usia relatif tua. Ia wafat dalam usia 86 tahun pada tahun 310 H di Baghdad.
Sumber: Dialog Jum’at REPUBLIKA

Tiada ulasan:

Catat Ulasan